TEMPO.CO, Yogyakarta - Jumlah penenggak minuman keras oplosan yang tewas di Yogyakarta meningkat dari 10 orang menjadi 13 orang pada Senin, 16 Mei 2016. Polisi mengirim sampel minuman keras oplosan ke Pusat Laboratorium Forensik Markas Besar Kepolisian di Semarang.
“Uji laboratorium itu untuk mengetahui kandungan dalam minuman beralkohol yang dicampur dengan berbagai bahan yang diduga mematikan,” ujar juru bicara Kepolisian Daerah Yogyakarta, Ajun Komisaris Besar Anny Pudjiastuti, Senin, 16 Mei 2016.
Polisi juga meminta izin kepada keluarga korban untuk mengautopsi jenazah. “Diperlukan autopsi terhadap korban minuman itu untuk mengetahui penyebab kematian warga Bantul dan Kota Yogyakarta tersebut,” kata Anny.
Dia mengatakan, penenggak minuman oplosan itu tak peduli akan bahan oplosan. Selain alkohol 90 persen, minuman itu dicampur dengan minuman energi, bahkan ada yang dicampur dengan obat nyamuk. “Untuk mengetahui secara pasti kandungan dalam minuman itu, diperlukan uji laboratorium secara detail,” ujarnya.
Dua orang ditangkap karena menjual minuman oplosan. Satu orang menjadi tersangka, satu orang masih dalam penyelidikan. Sedangkan satu orang lagi, yang diduga kuat sebagai pengoplos, masih buron. Tersangka adalah Feriyanto, warga Potorono, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.
Selain dibidik dengan pasal pidana, penyidik akan menjerat terdakwa dengan Undang-Undang Kesehatan. “Dengan Undang-Undang Kesehatan, diharapkan ada efek jera karena hukumannya bisa maksimal,” kata Anny.
Kepala Polda Daerah Istimewa Yogyakarta Brigadir Jenderal Prasta Wahyu Hidayat menyatakan terus menggelar operasi minuman keras secara besar-besaran. "Kami lakukan operasi besar-besaran," kata dia.
Prasta malah meminta penyidik menambahkan Undang-Undang Pangan untuk menjerat pengoplos. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan mengganjar pengoplos dengan hukuman 5 tahun bui dan denda Rp 10 miliar. Tahun ini sudah 39 orang di Yogyakarta tewas akibat minuman keras oplosan.
MUH. SYAIFULLAH