TEMPO.CO, Yogyakarta -Forum Komunitas Parkir Yogyakarta mendesak adanya revisi tarif retribusi parkir di wilayah Kota Yogyakarta. Alasannya, untuk menghindari ketimpangan antara pengelolaan parkir dengan sistem tempat khusus parkir (TKP) dan parkir tepi jalan umum (TJU). ”Terutama untuk parkir TJU yang selama ini mengacu peraturan daerah lama. Saat ini sudah tak relevan lagi sehingga perlu direvisi,” ujar Ketua Forum Komunikasi Parkir Yogyakarta, Hanarto, kepada Tempo, Jumat, 13 Mei 2016.
Adanya ketimpangan pemasukan parkir dengan dua model sistem di Kota Yogyakarta, menurut Hanarto, mencolok mana kala musim libur panjang. Dia menjelaskan, untuk parkir dengan model TKP, seperti yang diterapkan di Abu Bakar Ali, pendapatan yang diperoleh cenderung lebih tinggi karena tarif ditentukan sendiri kelompok dan bersifat progresif. Sedangkan pada sistem parkir TJU, tarif mengacu Peraturan Daerah (Perda) yang lama yakni Perda Nomor 19 Tahun 2009 tentang Tarif Parkir. Perda mengatur untuk kendaraan roda dua hanya Rp 1.000 dan roda empat Rp. 2.000.
Hanarto menurutkan, pada liburan panjang akhir pekan lalu, dalam sehari pendapatan parkir di TKP Abu Bakar Ali berkisar Rp 4 sampai 5 juta dalam sehari. Tarif per kendaraan bermotor roda dua Rp 2 ribu per unit. Pemasukan ini dibagi untuk sekitar 60 juru parkir. Sedangkan di parkir tepi jalan umum, dengan mengacu perda lama yang tarifnya untuk roda dua diatur Rp 1.000 per unit, pemasukannya cenderung stagnan. Itupun terpotong setoran langsung ke pemerintah.
Ketimpangan ini, menurut dia, dikhawatirkan memicu kecemburuan. ”Revisi tarif ini sudah kami usulkan sejak 2015 tapi tak kunjung dibahas. Kami berharap tahun ini bisa mulai dibahas,” kata dia.
Anggota Komisi C DPRD Kota Yogyakarta, Hasan Widagdo, mengakui jika di lapangan ketimpangan parkir akibat pengelolaan dua sistem ini bakal terjadi. ”Namun untuk merevisi tarif parkir DPRD belum berani, khawatir menabrak aturan dan kandas,” ujarnya.
Hasan menuturkan, menguatnya usulan revisi tarif parkir belum dapat masuk ke program legislasi daerah karena belum ada kajian terkait produk hukum Undang-Undang Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009. ”Dalam UU tersebut, parkir tepi jalan umum adalah hal yang seharusnya tak boleh terjadi. Karena itu, kami mempertimbangkan ulang revisi tarif untuk tepi jalan itu,” ujarnya.
Meskipun pemasukan melalui tarif parkir rata-rata tiap tahun di atas Rp 5 miliar, dan itu menggiurkan, DPRD menilai revisi tarif menjadi hal paling dilematis. Menurut Hasan, DPRD sudah mengusulkan sebelum revisi tariff. Namun, dia menilai, pemerintah kota membenahi dulu sistem koordinasi pemanfaatan lahan-lahan parkir baru. ”Sehingga lama-lama parkir tepi jalan berkurang,” ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO