TEMPO.CO, Jakarta - Rumah di Jalan Mawar 10, Surabaya, merupakan lokasi bersejarah. Selain menjadi studio Radio Pemberontakan yang dipimpin Sutomo alias Bung Tomo pada periode Oktober dan November 1945 untuk mengobarkan perjuangan rakyat, bangunan tersebut pernah dikunjungi Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Demikian ditulis Koran Tempo, Selasa, 10 Mei 2016.
Berdasarkan penuturan Soemarsono dalam bukunya, Revolusi Agustus, Dwitunggal mengunjungi markas Barisan Pemberontakan Republik Indonesia itu pada 30 Oktober 1945. Waktu itu Bung Karno dan Bung Hatta ditemani Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin.
Soemarsono—pentolan Pemuda Republik Indonesia, laskar terbesar di Surabaya saat itu—mengatakan kedua pemimpin memaklumatkan gencatan senjata pada 30 Oktober 1945, setelah mereka mencapai kesepakatan dengan tentara Inggris di Surabaya, sehari sebelumnya.
Rumah di Jalan Mawar tersebut juga menjadi saksi kebrutalan tentara Sekutu menggempur Kota Pahlawan setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby pada 30 Oktober 1945. K'tut Tantri dalam bukunya, Revolt in Paradise, menyebutkan ada tiga orang yang berada di dalam markas radio saat Surabaya dihujani meriam.
Dia dan seorang pekerja keturunan Arab selamat karena berlindung di ruang siaran. Sedangkan penyiar berkebangsaan India tewas tertusuk pecahan mortir saat berada di toilet. K’tut Tantri, yang bernama asli Muriel Stuart Walker, membantu Bung Tomo mewartakan berita revolusi dalam bahasa Inggris.
K’tut mengatakan, beberapa hari setelah pertempuran dahsyat itu, markas radio di Jalan Mawar ditutup. “Pusat siaran dipindahkan ke Bangil, sekitar 60 kilometer di sisi tenggara Surabaya,” ujar warga Amerika Serikat keturunan Skotlandia tersebut.
Rumah di Jalan Mawar itu milik seorang warga bernama Amin, yang membelinya dari pejabat kolonial Belanda pada 1927. Saat itu dia bekerja sebagai pegawai perkebunan milik kompeni. "Bapak beli rumah ini dengan kondisi kosong tanpa perabot," kata anak perempuan Amin yang enggan namanya dikutip.
Berdasarkan penuturan ayahnya, anak perempuan Amin menyebutkan Bung Tomo kerap berpidato di atas bubungan rumah berbentuk segitiga itu. "Mungkin agar frekuensi radionya lancar," tuturnya.
Tempo mewawancarai penghuni terakhir itu tahun lalu. Waktu itu, dokumen yang menyatakan bangunan tersebut sebagai cagar budaya masih terpampang di teras rumah.
RAYMUNDUS RIKANG