TEMPO.CO, Yogyakarta - Gerakan Warga Selamatkan Jogja mengecam pembubaran pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta oleh polisi dan organisasi masyarakat intoleran. Acara itu digelar untuk memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia atau World Press Freedom Day di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta pada Selasa malam, 3 Mei 2016.
Gerakan Selamatkan Jogja mendesak agar Kepala Polda Daerah Istimewa Yogyakarta mencopot Kepala Bagian Operasional Polresta Yogyakarta, Sigit Haryadi, beserta Kepala Satuan Intel Polresta Yogyakarta Komisaris Wahyu Dwi Nugroho dan Kepala Polsek Umbulharjo Komisaris Tri Adi dari jabatannya. Gerakan tersebut juga mendesak Kepala Polda DIY mengeluarkan surat instruksi kepada seluruh jajarannya dari tingkat polda sampai polsek untuk menindak tegas dan menangkap pelaku dari ormas-ormas intoleran. "Selama ini, mereka bertindak bak aparat negara," kata Ketua AJI Yogyakarta, Anang Zakaria, Selasa, 10 Mei 2016.
Kepala Bagian Operasional Polresta Yogyakarta Komisaris Sigit Haryadi memimpin pembubaran acara tersebut. Alasannya, rangkaian acara WPFD memutar film berjudul Pulau Buru Tanah Air Beta besutan sutradara Rahung Nasution yang berpotensi menimbulkan konflik, karena muncul penolakan dari organisasi masyarakat Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI/Polri (FKPPI) dan Front Anti-Komunis Indonesia (FAKI) Yogyakarta.
Ada sejumlah alasan mengapa film itu diputar dalam perayaan Hari Kebebasan Pers Dunia. Pertama, karena negara hingga detik ini tidak pernah melarang pemutaran film tersebut. Negara bahkan telah memfasilitasi adanya simposium nasional korban tragedi 1965 yang arahnya menyelesaikan kasus 1965 dengan cara rekonsiliasi. Cuplikan film tersebut bahkan pernah diputar di televisi nasional MetroTV dalam program Mata Najwa.
Selain itu, AJI menilai film dokumenter tersebut merupakan produk jurnalistik yang berbeda dengan film komersial yang dikemas secara fiksi. "Produk jurnalistik tersebut layak dibedah dan dikritik layaknya produk jurnalistik lainnya, seperti berita di media cetak, online, dan elektronik," kata Anang Zakaria.
Namun aparat Kepolisian DIY menabrak apa yang telah menjadi konsensus di tingkat pusat. Pada 3 Mei malam, polisi bekerja sama dengan ormas intoleran membubarkan pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta dalam acara WPFD. Kepala Bagian Operasional Polresta Yogyakarta Sigit Haryadi menegaskan bahwa pembubaran ini diperintahkan oleh Kepala Kepolisian DIY Brigadir Jenderal Prasta Wahyu Hidayat.
Pernyataan Sigit bertolak belakang dengan apa yang dikatakan Kepala Polda Prasta ketika diwawancarai jurnalis. Kepala Polda menyatakan tidak pernah menginstruksikan anak buahnya membubarkan acara tersebut. Namun bukti rekaman video menunjukkan bahwa mantan Kepala Satuan Intel Polresta Yogyakarta itu jelas-jelas menyebut Kepala Polda menginstruksikan pembubaran.
Perilaku Sigit ketika datang ke kantor AJI Yogyakarta dan memaksa membubarkan acara bertentangan dengan janji Kepala Polda Prasta dalam sejumlah pemberitaan. Sigit nyelonong masuk, berteriak, serta membentak panitia dan peserta acara. "Padahal, Kepala Polda Prasta pernah menyatakan Yogyakarta menjadi kota yang mengedepankan toleransi," kata Anang.
Kepala Polda berjanji akan bersikap tegas terhadap pihak-pihak yang melakukan tindakan atau gerakan intoleransi. Prasta juga menegaskan DIY ramah bagi semua orang. Dari catatan Gerakan Warga Selamatkan Jogja, bukan kali ini saja Sigit Haryadi berulah. Sigit telah membubarkan sejumlah kegiatan di Yogyakarta. Di antaranya acara Jagongan Media Rakyat di Jogja National Museum pada 2014. Waktu itu, agenda acara adalah mendiskusikan melek media guna menanggulangi konten-konten radikalisme.
Sigit juga membubarkan pemutaran film Senyap di kantor AJI Yogyakarta pada 2014. Ketika ada aksi gerakan pro-demokrasi di McDonald pada 2016, Sigit juga melontarkan kata-kata rasis. Sigit mendikotomi warga Yogyakarta asli dan pendatang. Dalam acara pemutaran film Pulau Buru, Sigit juga melontarkan kata-kata rasis.
SHINTA MAHARANI