TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly blak-blakan mengenai keterbatasan lembaganya mengelola lembaga pemasyarakatan. Hal itu ia ungkapkan saat menerima Tempo dalam sesi wawancara eksklusif di ruang kerjanya Lantai V Gedung Sentra Imigrasi, Kuningan, pekan lalu. Wawancara lengkap bisa disimak di majalah Tempo edisi 9-15 Mei 2016.
Menurut politikus PDI Perjuangan itu, salah satu keterbatasan pemerintah mengelola lapas ialah pemenuhan kualitas makanan yang disantap narapidana sehari-hari. “Kami akui belum bisa memenuhi gizi yang baik bagi mereka,” kata Yasonna.
Bukan apa-apa, sebab anggaran belanja bahan makanan selama setahun dibanding jumlah napi yang dibina hanya cukup mengalokasikan Rp 15 ribu sehari untuk seorang tahanan. Artinya, seorang napi cuma punya jatah Rp 5 ribu sekali makan.
Nominal itu dihitung dengan asumsi pemborong sembako tak ambil untung. Nah, Yasonna menambahkan, jika pemborong ambil untung Rp 1-2 ribu per kepala, maka biaya makan napi makin kecil. “Kalau dia ciak keuntungan lebih dari itu, narapidana mau makan apa?” dia berujar.
Kebutuhan gizi tambahan, kata Yasonna, biasanya dipenuhi dari bekal yang dibawa keluarga saat datang menjenguk. Tapi, hal ini kerap disalahgunakan untuk menyelundupkan ponsel atau barang terlarang lainnya ke dalam penjara.
Ia mengaku sempat akan melarang pengunjung membawakan makanan untuk narapidana. Tapi, kebijakan itu urung terlaksana karena pemerintah sadar belum mampu mencukupi kebutuhan gizi napi. “Bisa-bisa malah rusuh nanti,” dia menjelaskan.
RAYMUNDUS RIKANG