TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 menyerahkan sejumlah resume dan catatan soal kuburan massal korban pembunuhan 1965 kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan.
"Kami membawa laporan 122 titik kuburan massal di Sumatera dan Jawa," kata Ketua YPKP 1965 Bejo Untung di depan gedung kementerian tersebut, Jakarta Pusat, Senin, 9 Mei 2016.
Jumlah tersebut, ucap Bejo, baru tahap awal, karena masih ada lokasi lain di luar Jawa dan Sumatera. "Itu baru pekan ini sudah ada 122 titik. Kami yakini di situ terkubur sekitar 13.999 ribu korban. Saya pertanggungjawabkan ucapan saya ini," ujar Bejo.
Bejo mengaku terdorong menyerahkan catatan itu karena Luhut meminta ditunjukkan bukti jumlah korban dan kuburan massal pembantaian 1965. Menurut Bejo, data yang dia serahkan diterima sendiri oleh Luhut. "Kami mengapresiasi Menteri Luhut yang hadir menerima kami, lengkap bersama seluruh staf," tuturnya.
Bejo meminta Luhut memberikan perlindungan kepada pihak-pihak yang menyerahkan data kuburan massal. Bejo juga meminta kuburan massal yang mereka tunjukkan lokasinya tidak dihilangkan secara sengaja oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Permintaan itu, kata Bejo, disanggupi Luhut. "Dia bilang, ini negara besar, keamanan akan dijamin," ucap Bejo menirukan Luhut.
Pada Simposium Tragedi 1965 di Hotel Arya Duta, Jakarta, April 2016, mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat Letnan Jenderal (Purnawirawan) Sintong Pandjaitan menampik jumlah korban tewas pascatragedi Gerakan 30 September 1965 yang disebut-sebut mencapai ratusan ribu orang. "Itu pembohongan," ujar Sintong kala itu.
Sintong menganggap kebohongan soal jumlah korban akan mencoreng harga diri pasukannya yang bertugas pada masa lalu. Pada masa 1965, Sintong adalah komandan peleton dalam operasi itu. Laporan soal jumlah korban juga sempat diungkap Tim Pencari Fakta 1965. Saat itu komisi yang dibentuk Presiden Soekarno dan dipimpin Menteri Dalam Negeri Mayjen Soemarno menemukan jumlah korban hingga 80 ribu jiwa.
YOHANES PASKALIS