TEMPO.CO, Sleman – Labuhan gunung adalah tradisi dan budaya Keraton Yogyakarta. Labuhan Gunung Merapi diadakan setiap bulan Rajab sebagai tanda syukur. “Kami melaksanakan labuhan, yang merupakan adat budaya Keraton Ngayogyakarta,” kata Mas Kliwon Suraksohargo, juru kunci Gunung Merapi, selepas seserahan pernik sesaji labuhan di Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Minggu, 8 Mei 2016. Selain itu, Labuhan merupakan pengingat akan pentingnya mewaspadai erupsi yang bisa sewaktu-waktu muncul.
Bagi para pengelola wisata, peristiwa ini merupakan salah satu agenda andalan. Perayaan tersebut menarik banyak wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.
Baca Juga:
“Labuhan Merapi ini agenda rutin. Bisa menjadi salah satu daya tarik wisatawan,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sleman A.A. Ayu Laksmi Dewi.
Acara puncak akan digelar hari ini, mulai petilasan rumah almarhum Mbah Maridjan menuju pos satu Bukit Srimanganti. Jaraknya sekitar 1,5 kilometer. Para abdi dalem keraton, warga, dan wisatawan akan naik ke gunung, mengikuti arak-arakan.
Abdi dalem keraton mempersiapkan diri sekitar pukul 05.00. Mereka berangkat dari Kinahrejo pukul 06.00. Pada malam sebelumnya, digelar pertunjuksn wayang kulit semalam suntuk di Pendopo Kinahrejo yang terletak di depan petilasan rumah Mbah Maridjan. Asih, nama asli juru kunci itu, yang juga anak Mbah Marijan, mengatakan masyarakat harus tetap tanggap terhadap bencana. “Tidak boleh lalai sebagai warga di dekat gunung api.”
Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kencana Geologi Yogyakarta I Made Agung Nandaka mengatakan aktivitas apa pun di Merapi harus memperhatikan keamanan. Ada bahaya erupsi, banjir lahar hujan, dan bahaya lain. Sewaktu-waktu bisa muncul. Selepas erupsi 2010 yang eksplosif, hingga 6 tahun ini, belum ada tanda-tanda akan terjadi erupsi lagi. “Warga di sekitar gunung tetap harus waspada. Selamat adalah kunci utamanya.”
MUH. SYAIFULLAH