TEMPO.CO, Jakarta - Berbagai diskusi sastra dihadirkan dalam ASEAN Literary Festival (ALF) 2016 yang diadakan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Salah satunya adalah diskusi tentang tragedi 1965, yang diisi oleh sejumlah penulis komunitas 'Ingat 65'.
"Diskusi terkait tragedi 1965 itu harusnya bukan hal yang tabu dibicarakan. Banyak generasi ketiga sejak era tersebut yang berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi," ujar pemimpin redaksi komunitas 'Ingat 65'," Prodita Sabarini di Galeri Cipta II TIM, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat, 6 Mei 2016.
Komunitas 'Ingat 65' merupakan proyek penceritaan secara digital yang membahas berbagai aspek terkait dengan tragedi 1965. Mereka mengumpulkan pengalaman pribadi keluarga dan masyarakat yang terkena efek langsung, maupun tidak langsung dari periode kelam tersebut.
Kisah yang terkumpul, bisa didapat dari mereka yang memiliki hubungan darah dengan para korban hilang pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, maupun masyarakat yang memiliki pengalaman unik tentang topik tersebut.
Menurut Prodita, komunitas 'Ingat 65' terbuka bagi publik, khususnya generasi muda. "Semua bisa bergabung, memberi cerita dalam bentuk video, atau platform lain yang bisa menvisualkan pengalaman masing-masing (terkait peristiwa 1965).
Prodita mengaku kesulitan mendekati generasi muda yang kurang tanggap sejarah. "Tapi pendekatannya ada. Kami aktif di media sosial, dan kami tampilkan karya lewat platform modern," katanya.
Cara lain yang dilakukan komunitas tersebut adalah mengadakan klinik menulis. "Hal ini terbukti mengundang minat generasi modern," ujar Prodita.
Prodita mengatakan masyarakat bisa menyumbang karya pada 'Ingat 65. Karya yang dikirim, kata dia, harus disertai identitas lengkap untuk keperluan verifikasi. "Bisa dikirim ke Cerita.Ingat65@gmail.com. Karya yang dikirim harus dilandasi kejujuran."
Salah satu pembicara yang hadir dalam diskusi 'Ingat 65', Jumat sore itu adalah Puri Lestari, yang merupakan cucu salah satu pahlawan revolusi, Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo. "Bahkan sampai 2016 begini kita masih susah untuk mendiskusikan isu 1965, artinya memang ada sesuatu yang salah," ujar Puri.
Menurut Puri, menguak tabir 1965 tak lantas bertuju pada permintaan maaf pemerintah pada korban. "Kita harus mengerti dulu ada apa sih saat itu? Kalau negara dipaksa minta maaf pun, tak kan kesungguhan akan sama saja," katanya.
Sejarah yang ditutupi, kata dia, hanya akan berdampak negatif di masa yang akan datang. "Ini soal narasi apa yang akan kita beri ke anak-anak kita nanti. Inilah saat kita menyelesaikan sejarah yang masih 'ruwet' itu," kata Puri.
ALF digelar untuk ketiga kalinya sejak pertama diadakan pada 2014 lalu, di lokasi yang sama. Dalam festival sastra tahunan ini, pengunjung disuguhi diskusi sastra, yang melibatkan para penulis ternama Asia Tenggara, termasuk dari Indonesia.
Festival yang dijadwalkan berlangsung pada 5-8 Mei 2016 sempat mendapat tentangan sejumlah organisasi masyarakat, salah satunya Aliansi Masyarakat dan Mahasiswa Muslim (AM3). Kamis kemarin, organisasi tersebut berunjuk rasa menuntut pembatalan festival ini.
YOHANES PASKALIS