TEMPO.CO, Yogyakarta - Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyatakan pemerintah tak akan menyanggupi permintaan tebusan oleh kelompok penyandera empat WNI. Para penyandera dikabarkan sempat meminta tebusan 200 juta peso untuk pembebasan sandera. "Indonesia tak akan pernah mau membayar," ujar Gatot saat menjawab pertanyaan Tempo di sela pertemuan trilateral tiga negara yang digelar di Gedung Agung Yogyakarta Kamis 5 Mei 2016.
Namun Gatot tak menjelaskan lebih rinci soal perkembangan pembahasan para sandera itu pasca pertemuan dengan para menteri dan panglima bersenjata yang melibatkan Indonesia, Malaysia, dan Filipina itu.
Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa empat warga negara Indonesia yang masih disandera perompak di perairan perbatasan Filipina-Indonesia-Malaysia diketahu berbeda kelompok dengan Abu Sayyaf. "Ini beda faksi," ujar Presiden Joko Widodo di sela memimpin pertemuan trilateral antara tiga negara: Indonesia – Malaysia dan Filipina di Istana Gedung Agung, Yogyakarta 5 Mei 2016.
Saat ini masih ada empat warga negara Indonesia yang masih disandera perompak pasca dibebaskannya sejumlah WNI yang sebulan terakhir sempat ditawan kelompok radikal Abu Sayyaf dalam perompakan dua kapal Indonesia di perairan Tawi Tawi, Filipina bagian selatan pada akhir Maret lalu.
Presiden Jokowi menuturkan, untuk empat tawanan ini, saat ini pemerintah Indonesia sudah mendapatkan informasi keberadaannya. "Yang jelas kita sudah tahu mereka ada di lokasi mana, pulau mana, dan kita bangun komunikasinya," ujar Jokowi.
Jokowi menuturkan, untuk komunikasi pembebasan empat tawanan ini akan dilakukan dengan proses intensif. Sama halnya saat pembebasan sandera dari kelompok Abu Sayyaf lalu.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, Indonesiabersama Malaysia dan Filipina telah bersepakat kerja sama di empat fokus untuk masalah keamanan kawasan. Antara lain membentuk kerja sama patroli bersama kawasan. Kemudian tiga negara sepakat sesegera mungkin memberikan bantuan jika menemukan atau melihat adanya warga atau kapal yang mengalami persoalan di lapangan, membentuk pusat krisis dan hotline informasi di masing-masing negara jika terjadi persoalan, dan keempat menyususn standar operasional prosedur untuk menganagi kasus yang terjadi di kawasan tiga negara. "Untuk SOP penanganan yang berwenang panglima TNI," ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO