TEMPO.CO, Malang - Sekitar 100 jurnalis dan pers mahasiswa di Malang yang tergabung dalam Koalisi Jurnalis dan Persma Malang berunjukrasa di depan Balai Kota Malang. Mereka menuntut Wali Kota Malang Mochamad Anton untuk tak menuntupi informasi publik. Aksi dilakukan memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia.
"Banyak lembaga publik dan institusi pemerintah yang menutupi informasi publik," kata juru bicara Koalisi, Hari Istiawan, Selasa 3 Mei 2016.
Hari yang juga Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang memprotes sejumlah pejabat Pemerintah Kota Malang yang menghalangi kerja jurnalis. Seperti Dinas Pendidikan, Rumah Sakit Saiful Anwar dan Rumah Sakit Daerah Kanjuruhan yang tak memberikan akses informasi kepada jurnalis.
Mereka, kata Hari, melanggar Undang Undang Pers Nomor 40 tahun 1999 Pasal 4 yang menjamin kemerdekaan pers untuk mendapatkan informasi terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik. Serta melanggar Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 tahun 2008. "Para pejabat seolah menutupi informasi, ada apa ini," tanya Hari.
Sedangkan kasus kekerasan terhadap jurnalis terjadi pada 12 Februari 2016 saat meliputi pesawat Super Tucano yang jatuh di Blimbing Malang. Aparat militer merampas kamera jurnalis Radar Malang Nurlayla Ratri dan menghapus foto dan menggelandang fotografer Radar Malang Darmono ke markas militer.
Aparat, kata Hari, telah mengintimidasi jurnalis dalam melakukan kerja jurnalistik. Padahal jurnalis bekerja untuk menyampaikan informasi kepada publik. Selain itu, katanya, jurnalis juga menjadi pilar keempat demokrasi yakni menyampaikan kritik dan koreksi terhadap lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
AJI, bersama Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Pewarta Foto mengecam praktik impunitas atau pembiaran atas kasus kekerasan terhadap jurnalis. Mulai 1996 terdapat 12 kasus jurnalis yang terbunuh saat melakukan kerja jurnalistik. Sebanyak delapan kasus di antaranya yang terbengkalai dan dibiarkan. Meliputi kasus Muhammad Syarifudin alias Udin jurnalis Bernas, Agus Mulyawan, Naimullah, dan Herliyanto.
EKO WIDIANTO