TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian RI Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan sidang etik terhadap dua anggota Detasemen Khusus Antiteror 88 memasuki babak pembelaan. Mereka dianggap melanggar kode etik dalam kasus kematian Siyono, terduga teroris asal Klaten, Jawa Tengah.
“Sidang memberikan kesempatan kepada tim pembela untuk menyampaikan pembelaan berkaitan dengan tuntutan yang telah dibacakan pada pekan lalu," ujar Boy di Kantor Divisi Humas Markas Besar Polri, Selasa, 3 Mei 2016.
Boy tak menyebutkan nama dua anggota Densus tersebut. Yang jelas, mereka terlibat dalam penahanan Siyono pada Maret lalu. Ketika sidang tuntutan, jaksa penuntut menilai kedua anggota Densus tersebut melanggar Pasal 7 ayat 1 Kode Etik Profesi Polri yang berbunyi: "Setiap anggota Polri wajib menjaga dan meningkatkan citra soliditas, kredibilitas reputasi Kepolisian Indonesia."
Selain itu, khusus anggota yang berstatus atasan, penuntut menjerat dengan Pasal 7 ayat 2 yang berbunyi: “Setiap anggota Polri yang berkedudukan sebagai atasan wajib menunjukkan kepemimpinan yang melayani.” Penuntut juga menjerat dengan Pasal 13 ayat 2-a Etika Kelembagaan. Isinya, setiap anggota polri yang berkedudukan sebagai atasan dilarang memberi perintah yang melanggar norma hukum.
Kedua anggota Densus mendapat tiga tuntutan. Keduanya harus meminta maaf kepada institusi kepolisian dan masyarakat, diusulkan berhenti dengan hormat, atau, jika ada pendapat lain, diberi sanksi demosi. "Mutasi demosi itu orangnya ini enggak layak lagi ditugasi di Densus dan patut dipindahtugaskan ke instansi lain," ujar Boy.
Sidang perdana kasus Siyono, yang tewas setelah diciduk Densus, berlangsung pada Selasa, 19 April 2016. Sidang ini menghadirkan 10 saksi yang sudah melewati berita acara pemeriksaan (BAP).
Menurut polisi, Siyono berusaha melawan saat sedang dalam perjalanan menunjukkan gudang senjata di daerah Prambanan. Penyebab kematiannya adalah perdarahan rongga otak akibat perkelahian satu lawan satu antara Siyono dan anggota Densus.
Klaim polisi itu berbeda dengan hasil autopsi forensik PP Muhammadiyah dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Berdasarkan hasil otopsi itu, penyebab kematian Siyono adalah patahnya lima tulang rusuk kiri ke arah dalam, sehingga menusuk saraf jantung dan menimbulkan perdarahan. Juga tidak ada luka yang mengindikasikan adanya perlawanan oleh Siyono.
Sebelumnya, Polri mencurigai adanya kesalahan prosedur dalam pengawalan Siyono. Pertama, borgol Siyono dilepas. Kedua, Siyono hanya dikawal satu anggota, sedangkan satu anggota lain bertindak sebagai sopir.
ARIEF HIDAYAT | INGE KLARA SAFITRI