TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 10 dari 14 sandera yang disekap oleh kelompok separatis Filipina atau dikenal dengan Abu Sayyaf sudah dibebaskan. Mereka adalah awak kapal tugboat Brahma 12 dan tongkang Anand.
Mayor Jenderal (Purnawirawan) Kivlan Zein, salah satu negosiator yang ikut dalam upaya pembebasan sandera tersebut, mengatakan pembebasan sandera ini murni menggunakan jalur negosiasi.
Baca: Begini Kisah Pembebasan 10 WNI dari Sekapan Abu Sayyaf
PT Patria Maritime Lines, operator kapal tugboat Brahma 12, memang sudah menyiapkan uang tebusan yang diminta penyandera. Uang tersebut ditaruh dalam tas dan dibawa saat proses serah-terima sandera. Namun uang itu tidak pernah diberikan kepada kelompok penyandera. "Buat jaga-jaga kalau tiba-tiba mereka berubah pikiran," kata Kivlan Zein, Ahad, 1 Mei 2016.
Menurut Kivlan Zein, proses serah-terima dilakukan di sebuah pantai di selatan Pulau Mindanau. Serah-terima itu dilakukan pada pukul 12.00 waktu setempat. "Dengan juga melibatkan perwakilan dari kedua negara dan satu tokoh yang cukup disegani oleh kelompok Abu Sayyaf," kata Kivlan.
Tokoh yang dimaksud Kivlan adalah Gubernur Zulu Abdsakur Toto Tan II. Toto ini keponakan dari pimpinan Moro National Liberation Front (MNLF), Nur Misuari. Kelompok Abu Sayyaf merupakan sempalan dari kelompok MNLF yang memilih berdamai dengan pemerintah Filipina.
Baca: Pengamat: Pemerintah Harus Klarifikasi Pembebasan Sandera
Kivlan pernah bertugas sebagai pasukan perdamaian Filipina Selatan pada 1995-1996. Pada saat tugas itu, dia mengenal Nur Misuari dengan sangat baik. Keakraban itulah yang kemudian digunakan Kivlan untuk melobi kelompok Abu Sayyaf agar membebaskan WNI yang disandera.
Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah Nur Misuari segera menghubungi Toto agar bernegosiasi dengan kelompok militan Abu Sayyaf. Negosiasi pertama dilakukan pada akhir Maret tak lama setelah 10 sandera disekap.
Negosiasi itu juga melibatkan petinggi perusahaan Patria Maritime dan intelijen Filipina. "Kemudian direspons oleh badan intelijen strategis TNI dan terjadi komunikasi," kata Kivlan. Negosiasi yang dibantu oleh pemerintah Filipina, bekas militan MNLF, dan beberapa organisasi lainnya berjalan baik. Akhirnya, pada 1 Mei, 10 sandera itu dibebaskan. "Sekarang kami sedang mencoba negosiasi untuk membebaskan empat sandera yang masih ditahan," katanya.
Konselor Menteri dari Kedutaan Besar Indonesia di Filipina, Eddy Mulya, membenarkan pembebasan sandera itu murni tanpa bayaran. "Ini full negosiasi," katanya saat di Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Ahad, 1 Mei 2016.
Eddy mengatakan kedutaan besar di Filipina memang mendapat tugas untuk mengakomodasi semua unsur yang terlibat dalam proses negosiasi. "Diplomat, TNI, termasuk dari ILO," ujarnya. Semua yang terlibat akhirnya menyusut di bawah pimpinan Ahmad Baidowi dari Yayasan Sukma. Baidowi, kata Eddy, pernah melakukan riset tentang terorisme pada 2012. "Mereka yang atur. Kami cuma tindak lanjut.”
Proses negosiasi bisa terjadi lantaran ada kerja sama pendidikan dengan pemerintah otonomi Moro Selatan. “Di sana kami ada riset, bangun pendidikan, ngajarin. Sudah lama ini. Anggap saja kerja sama antarumat Islam,” ujar Eddy.
Penyanderaan anak buah kapal warga negara Indonesia oleh Abu Sayyaf terjadi pada akhir Maret lalu. Sebanyak 10 orang ABK Kapal Brahma 12 dan Anand 12 diculik di perairan Filipina Selatan. Penyanderaan kembali terjadi pada pertengahan April 2016. Sebanyak empat orang ABK WNI yang bekerja Kapal Tunda TB Henry dan Kapal Tongkang Cristi menjadi korbannya.
Baca: 10 WNI Bebas dari Penyanderaan, Ini Kata Presiden Jokowi
Presiden Joko Widodo mengatakan, meski 10 sandera telah bebas, pemerintah Indonesia masih berupaya membebaskan empat ABK WNI yang lainnya. Pemerintah pun berencana mengadakan pertemuan dengan Malaysia dan Filipina pada 5 Mei mendatang guna membahas keamanan di perairan perbatasan dan wilayah sekitarnya.
REZA ADITYA | AHMAD FAIZ