TEMPO.CO, Jakarta -Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menandatangani Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim pada Upacara Tingkat Tinggi Penandatanganan Perjanjian Paris (high-level Signature Ceremony for the Paris Agreement). Menteri Siti hadir mewakili Presiden Joko Widodo, di Markas Besar Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, Ameriksa Serikat, Jumat, 22 April 2016.
Acara penandatanganan dibuka langsung oleh Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon. Upacara ini diselenggarakan sesuai mandat dari Konferensi Para Pihak ke-21 Konvensi-Kerangka Perubahan Iklim (UNFCCC COP-21, pada Desember lalu.
Perjanjian Paris merupakan sebuah kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim. Komitmen negara-negara di dunia juga dinyatakan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) untuk periode 2020-2030, ditambah aksi pra-2020.
Baca Juga: 170 Negara Teken Paris Agreement, Arab Saudi Masih Nunggu
Total sebanyak 195 negara mendukung Perjanjian Paris ini. Sebelumnya, pada periode pra-2015, negara seperti Amerika Serikat dan Australia tidak ikut menandatanganinya. Namun, kedua negara tersebut kali ini turut berpartisipasi.
Perjanjian Paris akan berlaku apabila telah diratifikasi oleh setidaknya 55 negara yang menyumbangkan setidaknya 55 persen emisi gas rumah kaca. Batas 55 negara itu diharapkan dapat terpenuhi dalam waktu tidak terlalu lama.
Terlebih, tingkat partisipasi dalam Upacara Penandatanganan Perjanjian yang tinggi, yaitu 171 negara menandatangani dan 13 negara langsung mendepositkan instrumen ratifikasi. Negara-negara dengan tingkat emisi tinggi seperti AS, Cina, Uni Eropa, Rusia, Jepang, dan India juga tidak ketinggalan menandatangani Perjanjian Paris.
Simak: Siti Nurbaya: Indonesia Siap Jalankan Paris Agreement
Menteri Siti menuturkan Indonesia dapat bergabung menjadi salah satu dari 55 negara pertama yang melakukan ratifikasi. Hal ini berdasarkan pertimbangan pentingnya subyek lingkungan sesuai UUD 1945, untuk perlunya menyediakan lingkungan yang baik warga negara, serta dukungan dari DPR.
"Indonesia menyadari bahwa kehutanan dan pemanfaatan lahan adalah sektor yang paling signifikan dalam pengendalian perubahan iklim," ujar Menteri Siti, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 23 April 2016.
Sebab, kawasan hutan yang luasnya mencapai 65 persen dari luas wilayah negara Indonesia 187 juta km2 juga merupakan tempat yang kaya akan keanekaragaman hayati. Langkah-langkah konsisten telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka pengendalian perubahan iklim.
Indonesia diantaranya melanjutkan kebijakan moratorium perizinan pada hutan primer dan lahan gambut. Presiden Jokowi baru-baru ini telah menyatakan moratorium perizinan sawit dan tambang.
Menteri Siti mengungkapkan pemerintah daerah telah merespon positif arahan Presiden ini. Salah satunya yaitu Gubernur Aceh yang memberlakukan moratorium sawit dan tambang di Ekosistem Leuser, dan Gubernur Kalimantan Timur memberlakukan moratorium tambang batu bara.
Simak Pula: 120 Negara Teken Perjanjian PBB Perangi Pemanasan Global
Menurut Menteri Siti, Indonesia telah melibatkan segenap komponen masyarakat (swasta, kampus, pemerintah daerah, dan berbagai kelompok masyarakat) untuk berpartisipasi dalam aksi terkait iklim, mencakup aspek mitigasi dan adaptasi. Termasuk melalui program nasional yang disebut PROKLIM (program kampung iklim).
Menteri Siti melanjutkan, Indonesia mendorong negara-negara maju untuk menunjukkan kepemimpinan dalam meningkatkan ambisi sebelum dan setelah 2020. Selain itu juga memberikan dukungan kepada negara-negara berkembang dalam bentuk keuangan, teknologi dan peningkatan kapasitas, dalam rangka memenuhi target menahan peningkatan suhu global di bawah 2 derajat celcius.
"Sejarah telah mencatat, adalah mungkin untuk mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca sejalan dengan mencapai pertumbuhan ekonomi, seperti yang telah ditunjukkan oleh sejumlah negara maju," katanya.
GHOIDA RAHMAH