TEMPO.CO, Bojonegoro - Apa konsep bela negara menurut Pemerintah Kabupaten Bojonegoro? Militerisme, indoktrinasi, atau mengangkat senjata? Tidak. “Bela negara itu identik dengan lima syarat,” ujar Bupati Bojonegoro Suyoto dalam diskusi bersama sejumlah pejabat dan lembaga swadaya masyarakat di Bojonegoro, Jumat, 22 April 2016.
Suyoto lalu menyebutkan lima syarat tersebut, yaitu daulat pangan, daulat energi, penegakan hak asasi manusia (HAM), mengelola bencana alam, dan demokratisasi. Lima konsep bela negara itu kini telah diterapkan di Bojonegoro dan relatif berjalan. Lima konsep inilah yang kemudian mengantarkan Kabupaten Bojonegoro terpilih mewakili Indonesia sebagai percontohan pemerintah daerah terbuka atau open government partnership (OGP).
Rencananya, lima konsep ini akan dideklarasikan bersama para pejabat tinggi negara, seperti Presiden Joko Widodo, para menteri, Kepala Kepolisian RI, Panglima TNI Angkatan Darat, dan para tokoh di Jawa Timur, di Stadion Letjen Sudirman, Kota Bojonegoro, pada 17 Mei 2016. “Kita akan mengundang Bapak Presiden,” ucapnya.
Suyoto kemudian menjelaskan lima syarat bela negara tersebut. Pertama terkait dengan Bojonegoro sebagai lumbung pangan. Konsep ini menawarkan betapa pentingnya ekonomi kemasyarakatan yang hidup dari garis pertanian. Artinya, jika pangan cukup di masyarakat, kemakmuran akan dekat.
Kedua, ujar Suyoto, Bojonegoro sebagai lumbung energi minyak dan gas bumi. Kebetulan di Kabupaten Bojonegoro banyak terdapat sumber minyak yang produksinya sekitar 20 persen dari total kebutuhan energi di bidang ini. Ketiga, berupaya mengelola bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor. “Jangan takut banjir. Tapi bagaimana banjir bisa dikelola,” tuturnya.
Syarat keempat, kata Bupati, terkait dengan penegakan HAM di Bojonegoro, yang diawali dari menyamakan persepsi dan keterbukaan. Sebab, untuk syarat ini, pemda ikut bekerja sama dengan kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan aktivis LSM. Para pimpinan lembaga diajak berdiskusi dan merumuskan kerja sama. “Pelan-pelan dan optimistis,” ucapnya.
Kelima, menurut Suyoto, demokratisasi tidak berarti masyarakat bebas bersuara dan mengkritik pemerintah. Tapi sebaliknya, bagaimana alam keterbukaan sekarang ini bisa dikelola dengan baik. Sinergi antara pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat akan melahirkan kemanfaatannya.
Suyoto mencontohkan, di Bojonegoro, ada namanya Dialog Jumat. Dialog yang dilakukan di Pendapa Kabupaten Bojonegoro tiap Jumat ini terbuka untuk umum, mulai pelajar, mahasiswa, tokoh masyarakat, LSM, hingga petani. Mereka bisa berbicara terbuka dan bahkan mengkritik pemerintah langsung soal jalan rusak, saluran tersumbat, atau layanan publik lain. Selanjutnya pemerintah langsung menjawab dan tentu mencari solusinya. “Saya kira ini sangat demokratis,” ujarnya.
Jadi, tutur Suyoto, wajar jika konsep yang dibangun Pemkab Bojonegoro selama enam-tujuh tahun silam membuahkan hasil. “Dan kita terpilih mewakili pemerintah yang terbuka,” katanya.
Joko Purwanto, pegiat LSM di Bojonegoro, menyatakan konsep yang ditawarkan Pemkab Bojonegoro sangat rasional. Dia menyebutkan Kabupaten Bojonegoro pada 10-12 tahun silam adalah daerah miskin di Jawa Timur, tapi kini menjadi daerah maju. Itu terlihat dari peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Bojonegoro, dari sekitar Rp 850 miliar pada 2008 menjadi Rp 3,4 triliun saat ini. “Dan yang kami bangga, Bojonegoro menjadi percontohan pemerintahan yang terbuka,” ucapnya.
SUJATMIKO