TEMPO.CO, Bandung- Syamsi Dhuha Foundation, sebuah yayasan di Kota Bandung, meluncurkan Low Vision Center di kantornya di Jalan Ir. H. Juanda, Bandung, Jumat, 22 April 2016. Layanan kesehatan mata gratis dari lembaga nirlaba tersebut bertujuan membantu para penyandang low vision (kurang penglihatan). “Anggota ada 100 orang lebih, kebanyakan dari Bandung,” kata manajer yayasan itu, Laila Panchasari kepada Tempo.
Low Vision Center berfungsi sebagai tempat layanan edukasi bagi penyandang low vision, sosialisasi dan penelitian, pendampingan serta advokasi , serta penyediaan alat bantu penglihatan yang saat ini masih harus diimpor. Fungsi pendampingan itu, kata Laila, antara lain dengan menyediakan relawan untuk mendampingi penyandang low vision dari kalangan pelajar ketika mengikuti ujian tertulis. “Juga advokasi ke sekolah inklusi dan sekolah lain yang siswanya menyandang low vision,” ujar Laila.
Pendiri yayasan Dian Syarif mengatakan, layanan tersebut sudah dirintis sejak lembaga itu berdiri pada 2004. Layanan itu terkait juga dengan kegiatan peduli penyakit lupus. Yayasan, kata Dian, bekerja sama dengan Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo, beberapa lembaga swadaya masyarakat, institusi pendidikan kampus dan dinas, dan Dinas Kesehatan. “Kami mendesak agar ada keringanan biaya impor alat bantu penglihatan tersebut kepada pemerintah,” kata Dian.
Alat bantu yang beragam jenisnya tersebut seharga Rp 100 ribu hingga Rp 7 juta. Menurut Dian, yayasan ikut dibantu banyak donatur untuk bisa membeli perangkat tersebut yang diimpor dari Hongkong. Donasi yang terkumpul disisihkan juga untuk melakukan penelitian, pengembangan, modifikasi, maupun uji coba pembuatan alat sendiri. “Sementara belum berhasil, tapi terus dicoba supaya tidak ketergantungan dengan barang impor,” kata Dian.
Orang tua yang anak-anaknya menyandang low vision mengatakan banyak mendapat manfaat selama bergabung dengan yayasan . “Kepercayaan diri anak pelan-pelan tumbuh setelah bertemu dengan sesama penyandang low vision,” kata Yuyus Bekoning, 47 tahun.
Seorang ibu lainnya, Nur asal Karawang, mengatakan hal serupa. Zidan, putranya yang masih duduk di kelas 4 Sekolah Dasar tergolong aktif namun pemalu. “Dia juga seperti kurang percaya diri, mungkin karena di tempat kami jarang sekali anak yang low vision,” ujarnya. Orang tua pun bisa ikut berkonsultasi gratis dengan seorang psikolog relawan untuk mendampingi anak atau anggota keluarga lain yang menderita low vision.
ANWAR SISWADI