TEMPO.CO, Makassar -Sejumlah warga mengeluhkan reklamasi pesisir pantai barat Kota Makassar saat sidang peninjauan lokasi reklamasi Centre Point of Indonesia, Kota Makassar, Kamis, 22 April. Reklamasi CPI dituding merusak ekosistem dan biota laut serta merugikan nelayan pencari ikan dan nelayan pencari kerang.
Menurut penduduk kawasan itu, reklamasi CPI menyusahkan mereka. “Kini, saya tinggal di emperan gedung Celebes Convention Centre," kata Daeng Bollo, 67 tahun, penduduk setempat kepada majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar, Jumat, 22 April. Sebanyak 43 keluarga kehilangan tempat tinggal akibat reklamasi CPI pada 2013. Rumah Bollo sendiri dirobohkan dan dibakar.
Sidang peninjauan setempat itu berlangsung selama dua jam. Majelis hakim bersama tim kuasa hukum penggugat dari Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi dan pihak tergugat, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mengecek sejumlah titik. Mereka meninjau langsung batas-batas reklamasi dengan berperahu.
Bollo yang ikut dalam peninjauan lokasi menuturkan bahwa banyak nelayan pencari ikan dan nelayan pencari kerang yang pindah dari pesisir pantai Makassar. Tidak sedikit pula yang beralih mata pencaharian, seperti anaknya, Ismail, 28 tahun, yang kini menjadi pedagang asongan di Anjungan Pantai Losari. "Bagaimana mau melaut kalau aksesnya terhalang?" ucap Bollo yang mengaku tinggal di lokasi reklamasi sejak 1979.
Keluhan serupa disampaikan Duni Daeng Alang (62) yang kini menumpang di rumah keluarganya di Jalan Rajawali, seusai digusur. Ia kini pedagang asongan. Kerabatnya yang dulu nelayan, ada yang pindah ke Kabupaten Takalar dan Kabupaten Maros. "Hidup saya susah setelah dimulainya reklamasi CPI," kata Alang.
Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi Selatan menggugat Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar pada Januari lalu. Walhi menggugat setelah memastikan pemerintah provinsi menerbitkan izin reklamasi pantai yang diduga cacat prosedural. Pokok gugatan itu adalah Surat Izin Gubernur tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi tahun 2015.
Dalam Surat Keputusan tersebut, Gubernur Syahrul memberikan izin proyek reklamasi seluas 157 hektare di kawasan CPI. Lahan seluas 57 hektare akan diserahkan kepada pemerintah provinsi untuk pembangunan Wisma Negara. Sedangkan sekitar 100 hektare sisanya bakal dikuasai swasta untuk kepentingan perhotelan, bisnis, dan pemukiman mewah. Hingga kini, proses peradilan kasus itu masih bergulir.
Penasehat hukum penggugat, Walhi Sulawesi Selatan, Haswandy Andy Mas, mengatakan reklamasi CPI amat jelas merusak ekosistem dan biota laut. Buktinya, di sekitar lokasi reklamasi terdapat laut “mati” yang sudah menghitam karena tumpukan sampah. Belum lagi, di pendangkalan di sejumlah titik. Reklamasi, kata dia, telah dilakukan lama sebelum izin pemerintah provinsi pada 2013.
Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Sulawesi Selatan, Andi Bakti Haruni, menuturkan segala perizinan reklamasi CPI sudah lengkap. Klaim penggugat yang menyebut pemerintah provinsi tidak mengantongi izin reklamasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan disebutnya bukan landasan utama proyek reklamasi. Reklamasi, kata Bakti, bukan berada di kawasan strategis nasional, melainkan kawasan strategis provinsi. "Itu kewenangan gubernur."
Koordinator proyek CPI, Suprapto Budi Santoso, membantah reklamasi CPI mengabaikan kepentingan umum. Ia menjelaskan bahwa proyek itu dibangun untuk kepentingan masyarakat. Klaim warga maupun nelayan yang merasa aksesnya terbatas sudah diantisipasi dengan membuat alur nelayan. "Itu ada jembatan sengaja dibangun agar nelayan bisa hilir mudik."
Disingung penggusuran puluhan kepala keluarga pada 2013 lalu, Suprapto mengatakan sesuai prosedur. Penertiban dilakukan terhadap penduduk liar yang bermukim di lokasi reklamasi. "Itu sudah sesuai prosedur. Kami memberikan peringatan sebanyak tiga kali." Soal pendangkalan laut, ia berdalih lantaran adanya pengembang lain yang melakukan reklamasi. Suprapto juga membantah bahwa reklamasi laut telah dilakukan. "Ini baru pematangan."
Ketua majelis hakim perkara itu, Tedy Romyadi, mengatakan sidang peninjauan setempat dilaksanakan untuk memberikan pengetahuan terhadap hakim ihwal proyek reklamasi. Beberapa warga diwawancarai. Tapi, keterangan mereka belum menjadi rujukan karena tidak di bawah sumpah. "Nanti dihadirkan sebagai saksi fakta di sidang dengan agenda pemeriksaan saksi."
Tedy mengatakan telah melihat langsung batas reklamasi CPI itu. Ia juga mengaku melihat aktivitas di tengah laut pada beberapa titik. Informasi yang berkembang bahwa itu adalah proses pemancangan. Tapi, setelah dikonfirmasi, pemerintah maupun pengembang menyatakan aktivitas itu sebatas penelitian kedalaman dan terumbu karang.
TRI YARI KURNIAWAN