TEMPO.CO, Yogyakarta - Kalangan aktivis Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) menyerukan agar kaum perempuan semakin gencar memerangi berbagai bentuk aksi intoleransi atas nama apa pun karena dinilai ikut menghambat emansipasi.
“Dalam berbagai kasus intoleransi, perempuan selalu paling rawan menjadi korban intimidasi,” kata Koordinator ANBTI, Agnes Dwi Rusjati, dalam pernyataannya memperingati Hari Kartini, Kamis, 21 April 2016.
Kondisi ini membuat perempuan korban intoleransi menanggung beban lebih dan tak berdaya. “Selain mengalami trauma psikologis, jika perempuan yang menjadi korban kekerasan memiliki anak, dia dituntut bertanggung jawab memulihkan trauma si anak,” ujar Agnes, yang aktif melakukan pendampingan di sejumlah kasus intoleransi di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam dua kasus dampak intoleransi yang pernah ditangani Agnes, terutama di DIY, perempuan korban intoleransi kerap tak berdaya melawan karena lemahnya penegakan hukum yang masih membiarkan aksi penggerebekan organisasi masyarakat. Misalnya, ketika seorang istri pemuka agama yang diusir dari rumahnya karena suami dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban sekelompok ormas di suatu wilayah. Atau seorang guru sekolah minggu yang harus pergi karena gereja tempat dia mengajar ditutup atau disegel massa.
Agnes menuturkan, kasus intoleransi yang kerap dibiarkan oleh penegak hukum dan pemerintah berperan menghambat minimnya peran perempuan lebih merdeka. “Perempuan masih menjadi sasaran aksi politis, kekerasan, dan kepentingan,” ujar Agnes.
Dia menyayangkan berbagai kasus intoleransi oleh sekelompok orang yang menyasar kaum anak dan perempuan. Tak jarang melibatkan kaum perempuan juga di dalamnya sebagai pelaku teror. “Perempuan menjadi pelaku dan digunakan sebagai bagian kelompok intoleran melakukan intimidasi melalui hujatan, cacian, dan bentuk lain untuk menteror,” ujarnya.
Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP) Kota Yogyakarta Lucy Irawati mengatakan selama ini perempuan yang menjadi korban kekerasan aksi intoleransi memang diketahui tidak ada yang melaporkan kasusnya. “Kasus kekerasan di luar urusan rumah tangga yang membawa korban perempuan dan anak, seperti aksi intoleransi, bisa dilaporkan. Kami akan berkoordinasi dengan aparat keamanan untuk penanganannya,” ujar Lucy.
Menurut Lucy, mulai 1 Juni 2016, pemerintah Kota Yogyakarta meluncurkan sebuah fasilitas “rumah aman” untuk menampung dan menangani perempuan dan anak korban kekerasan, baik kasus rumah tangga maupun kasus lain.
PRIBADI WICAKSONO