Ihwal ini, Kartini mengakuinya dalam surat kepada Stella tertanggal 30 Agustus 1900. Dia mengaku sering ditanya tentang tulisannya dengan nama Tiga Saudara dan ia selalu menyangkal. “Aku sungguh tidak suka jika orang menanyakan hal itu. Mungkin mereka menganggap aku berpura-pura, tapi sungguh aku tidak suka dipuji,” tulis Kartini.
Publikasi Tiga Saudara itu membawa hal lain kepada Kartini. A.G. Boes, Direktur Sekolah Pelatihan Calon Kepala Bumiputera di Probolinggo, meminta kepada ayahnya agar Tiga Saudara mengisi jurnal untuk penerbitan berbahasa Belanda pertama bagi bumiputra. Kepada Stella, Kartini menyebut jurnal bernama De Nederlandsche Taal itu bergaya ”Lelie kita” (Hollandsche lelie).
Perihal jurnal itu, Kartini juga menyinggungnya dalam surat kepada Rosa Manuela Abendanon-Mandri tertanggal 21 Desember 1901, seperti dimuat dalam buku Kartini, Surat-surat kepada Ny R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya tulisan Sulastin Sutrisno. Kartini bercerita, Boes mengirimkan daftar topik yang harus ia kupas, di antaranya tentang pengajaran bumiputra untuk anak-anak perempuan dan lembaga bumiputra yang berguna.
Kartini juga menulis tentang seni batik. Dalam surat kepada Stella tertanggal 6 November 1899, seperti dikutip di buku Aku Mau: Feminisme dan Nasionalisme (Surat-surat Kartika kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903), Kartini mengutarakan kegembiraannya perihal artikel batik yang ia tulis setahun sebelumnya yang akan diterbitkan menjadi buku. “Sedikit melegakan rasanya saat mendengar berita yang tak kukira sebelumnya. Sama sekali aku sudah lupa semuanya.”
Buku itu terbit dengan judul De Batikkunst in Ned lndie en haar Geschiedenis (Kesenian Batik di Hindia Belanda dan Sejarahnya), yang ditulis G.P. Rouffaer dan Dr H.H. Juijnboll. Buku ini termasuk karya besar. Dicetak pertama pada 1900 oleh H. Kleinman & Co, ia lalu dicetak ulang pada 1914 oleh A. Oosthoek, Utrecht. Tulisan Kartini dalam bahasa Belanda yang bagus itu ditempatkan pada bab pertama buku tersebut. Tulisan itu dikenal dengan sebutan Handschrift Japara (Manuskrip Jepara).
Artikel itu sebenarnya termasuk barang-barang koleksi perbatikan yang terdapat dalam peti yang disumbangkan Kartini untuk Pameran Nasional Karya Wanita (Nationale Tentoonstelling voor Vrouwenarbeid) di Den Haag. Koleksinya terdiri atas 4 potong mori, 16 potong batik yang masih ada lilinnya, 2 kain yang sudah jadi batik, 4 canting, 1 wajan kecil, 2 gawangan, 1 anglo kecil, dan 2 bandul. Kain batik itu merupakan karya Tiga Serangkai yang halus, menarik, dan anggun selayaknya dikerjakan orang yang berbakat membatik dan melukis.
Kartini sebenarnya bimbang menentukan cita-citanya, apakah menjadi guru, dokter, perawat, ahli kesenian, atau pengarang. Suratnya kepada Stella pada 11 Oktober 1901 menceritakan tentang ini. Dia bercerita ayahnya ingin ia menjadi guru, tapi ia sadar biayanya mahal. Ada memang sekolah dokter untuk pribumi, STOVIA, yang menggratiskan uang sekolah bagi laki-laki, tapi ia tak berminat karena pendidikannya lama. Kartini menyebut bidang sastra kecintaannya. “Kautahu ini adalah mimpiku bila suatu hari nanti aku bisa menjadi penulis yang diperhitungkan dalam bidang seni sastra.”
Saparinah Sadli, guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan penulis Kartini Pribadi Mandiri, menyebutkan tulisan Kartini istimewa karena kritis dan mengangkat isu sosial. Ini yang membedakan dengan pahlawan lain. “Karena ia meninggalkan tulisan,” ujar Saparinah.
TIM TEMPO