Memang tak tercantum nama Kartini sebagai penulis artikelnya. Yang muncul nama bapaknya. Jaap Anten dari Departemen Arsip dan Foto pada Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) memberi penjelasan dalam situsnya perihal tiadanya nama Kartini. “Tidak dicantumkan nama Kartini tapi nama ayahnya demi alasan keamanan,” tulisnya. Kartini menulis artikel tersebut pada 1895 saat berusia 16 tahun.
Tulisan itu pertama kali ditunjukkan Kartini kepada Marie Ovink-Soer. Dia menyarankan Kartini terus berlatih karena berbakat. Jiwa Kartini meluap-luap sehingga tambah bersemangat menulis. Tapi karangan itu hanya ia simpan. Baru tiga tahun kemudian Kartini menemukan kembali saat membereskan lemari. Tulisan itu lalu ia tunjukkan kepada sang ayah. Sosroningrat, yang diminta KITLV membantu memasok tulisan, lantas mengirimkan karangan anaknya tersebut.
Bukan hanya perkawinan adat Arab yang Kartini tulis. Pada buku Panggil Aku Kartini Saja karangan Pramoedya Ananta Toer, disebutkan Kartini juga menulis perkawinan di kalangan pembesar pribumi. Tulisan itu agaknya merupakan hasil reportasenya atas perkawinan Kardinah pada 24 Januari 1902. Soalnya tulisan itu cocok dengan surat Kartini kepada Hilda Gerarda de Booy-Boissevain pada 21 Maret 1902, yang bercerita detail tata cara pernikahan adat Jawa sejak tiga malam sebelum pernikahan, widodareni, akad nikah, hingga selamatan.
Menurut Pramoedya, tulisan itu tidak pernah diterbitkan meski sebuah majalah terbitan Belanda berkali-kali meminta. Kendati majalah itu menawarkan penulisan anonim, Kartini tetap menolak. Alasan Kartini: orang akan tetap tahu bahwa itu tulisannya. Pada masa itu hanya sedikit orang Indonesia yang bisa menulis dalam bahasa Belanda dan, lebih sedikit lagi yang bisa dipublikasikan. Jadi gampang diterka siapa penulisnya.
Kartini lebih menyukai publikasi tanpa mencantumkan namanya. Tulisan-tulisannya di majalah De Echo--majalah perempuan Hindia yang berbasis di Yogyakarta--menggunakan nama samaran Tiga Saudara. Pemimpin Redaksi De Echo Nyonya M. Ter Horst menyediakan kolom khusus untuk Tiga Saudara. Harian terbesar masa itu, De Locomotief, yang berbasis di Semarang, memuji tulisan-tulisan yang dikirimkan dengan nama pena Tiga Saudara.
Selanjutnya: Kartini tidak suka dipuji