Karena sikapnya yang lincah, gesit, pandai, dan mudah bergaul, Kartini sangat menonjol di sekolahnya, Europeesche Lagere School. Apalagi di sekolah Belanda itu kebanyakan muridnya adalah anak campuran Belanda-Indonesia dan Belanda totok. Hanya sedikit yang pribumi asli, apalagi perempuan.
Kartini menjadi sangat terkenal karena kefasihannya dan kemahirannya menulis dalam bahasa Belanda. Pernah Europeesche Lagere School kedatangan seorang inspektur Belanda yang menyuruh murid di sekolah itu membuat karangan dalam bahasa Belanda. Dari hasil penilaiannya, karangan Kartinilah yang paling bagus.
Meski pintar dan suka membaca, Kartini bukanlah anak yang takluk pada perintah guru. Ia tetap anak kecil yang suka jail terhadap gurunya. Salah satu guru yang paling sering diisengi Kartini adalah Pak Danu, guru bahasa Jawa yang sengaja didatangkan keluarga Sosroningrat untuk mengajari anak-anak mereka.
Kartini dan adiknya sering meminta Danu membelikan makanan kesukaan mereka, yaitu pecel daun semanggi. Cara ini digunakan tiga bersaudara itu untuk menghindari pelajaran. Lambat-laun perbuatan mereka diketahui Sosroningrat. Mereka dimarahi dan Danu diganti dengan guru lain bernama Sumarisman, yang lebih berwibawa dan tegas. Di bawah bimbingan Sumarisman, ketiga bersaudara dapat menguasai bahasa Jawa dengan berbagai tingkatan.
Selain mendapat pendidikan formal dan pendidikan bahasa Jawa, Kartini kecil memperoleh pendidikan membaca Al-Quran. Namun Kartini kurang begitu menyukai pelajaran ini karena harus mengikuti panjang-pendek harakat dalam huruf Arab. Kartini juga sering mengajukan pertanyaan yang sulit dijawab gurunya. Meski begitu, ayahnya tidak marah. Hanya ibunya yang marah, karena Ngasirah sangat keras mendidik Kartini dalam hal ibadah.
Pada 1892, usia Kartini memasuki umur 12 tahun 6 bulan atau usia remaja putri. Meskipun Sosroningrat cukup progresif menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah Belanda, ia belum dapat melepaskan seluruh adat bangsawan yang kolot. Kartini tidak boleh melanjutkan pelajaran. Ia sudah dianggap cukup besar untuk dipingit, dikurung di dalam rumah tanpa hubungan dengan dunia luar sampai ada seorang pria yang melamarnya.
Dalam surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini menceritakan kesedihannya. Betapa Kartini memohon kepada ayahnya agar diperbolehkan melanjutkan sekolah ke Hogere Burger School di Semarang. Ia memohon sambil menangis dan bersujud. Tapi sang ayah, meski pedih, tetap mengatakan tidak.
Pernah seorang gurunya bertanya, apakah Kartini mau ikut Letsy pergi ke Belanda guna melanjutkan pelajaran. Kartini terdiam. Matanya berbinar riang, tapi kemudian redup. Dengan tersendat ia menjawab: “Jangan tanya apa saya mau, tanyakan apa saya boleh.”
TIM TEMPO