TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengurus Pusat Muhammadiyah, serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) tetap menganggap kasus tewasnya Siyono sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh Detasemen Khusus Antiteror. Ada sejumlah dasar yang mereka utarakan. "Lho, kalau setiap menganiaya orang lain, itu pidana," kata komisioner Komnas HAM, Siane Indriani, kepada Tempo, Rabu, 20 April 2016. “Tidak cukup hanya pelanggaran etik.”
Sistem hukum Indonesia berasas praduga tak bersalah. Penganiayaan, apalagi hingga tewas, terhadap seseorang yang baru berstatus diduga, merupakan tindak pidana. Hukum, kata Siane, harus tetap menghormati hak-hak orang tersebut.
Siane menguatkan dugaan tindak pidana itu dengan hasil autopsi dokter forensik Muhammadiyah dan Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Tak ada tanda-tanda perlawanan dari Siyono. Tak ada pula bekas luka akibat menangkis. "Itu jelas bisa dipertanggungjawabkan secara akademik," ujarnya. Siyono pun tewas karena tulang dadanya patah dan menusuk jantung.
Baca:Hasil Otopsi Siyono Berbeda dengan Penjelasan Polisi
Hasil otopsi tersebut berbeda dengan yang disampaikan Mabes Polri. Versi Kepolisian, Siyono melawan petugas Detasemen Khusus Antiteror. Siyono tewas akibat bagian kepala belakangnya terbentur kaca mobil.
Siyono merupakan warga Klaten, Jawa Tengah. Ia ditangkap Detasmen Khusus Antiteror atas tuduhan terorisme. Mabes Polri menyebutnya panglima dan dia mengetahui gudang senjata kelompok yang diikutinya. Gudang senjata atau persenjataan itu belum terbukti di pengadilan.
Baca: Tito Karnavian: Siyono Masuk Jaringan Jamaah Islamiyah
Baca: Tito Karnavian Menduga Siyono Simpan Senjata Api
Komnas HAM dan lembaga masyarakat mendesak transparansi pengadilan kasus Siyono. Tujuannya supaya publik bisa mengawasi serta menilai akuntabilitas Detasmen dan Polri.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti menganggap fakta tindakan anggota Destasemen Khusus Antiteror terhadap Siyono perlu dilihat, sebelum kasus ini dibawa ke ranah pidana. Fakta itu akan terungkap berdasarkan hasil sidang kode etik. Dua petugas Detasmen yang mengawal Siyono tengah menjalani sidang kode etik.
Baca: Muhammadiyah Minta Kasus Siyono Dinaikkan ke Penyidikan
"Lihat dulu. Nah, pidananya di mana? Kalau anggota polisi dilawan penjahat, bukan pidana," kata Badrodin dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Hukum DPR di gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu, 20 April 2016. Pihak yang menangani teroris, kata Badrodin, harus mengenal betul pemikiran mereka. Para tersangka umumnya memiliki tekad lebih baik mati daripada tertangkap polisi. "Pemikiran itu kan harus ada sehingga pelaku ini pasti melawan kalau bisa," ucapnya.
Namun sidang etik itu berlangsung tertutup. Badrodin berdalih, sidang tertutup untuk melindungi wajah petugas agar tak terungkap ke publik. Polri memang mengatur keterbukaan persidangan. "Sebetulnya, kami bolehkan (melihat) kalau tidak mengambil gambar (anggota Densus 88), tapi siapa jamin, tahu-tahu beredar di publik. Kami tidak bisa batasi itu," tutur Badrodin.
Baca: Meski Siyono Dibela Muhammadiyah, Kapolri Berkukuh Dia Berbahaya
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Abu Bakar Alhabsyi, mengapresiasi keterbukaan Polri yang mengizinkan Komnas HAM dan Muhammadiyah mengautopsi jenazah Siyono. Sedangkan politikus Partai Golkar, Bambang Soesatyo, meminta Kapolri tegas menindak penyimpangan prosedur penanganan kasus tersebut. "Kami mendorong evaluasi menyeluruh dalam penanganan dan penangkapan terorisme," tuturnya.
Kesimpulannya, DPR mendukung langkah-langkah untuk memberantas tindak pidana terorisme oleh Polri. Namun penanganan oleh Polri tetap harus menjunjung hukum dan HAM. "Lakukan evaluasi menyeluruh terhadap penanganan terorisme sesuai dengan prosedur standar," kata pemimpin rapat, Benny Kabur Harman.
AHMAD FAIZ