TEMPO.CO, Surabaya -Jaringan Anti Korupsi Jawa Timur menyayangkan langkah kejaksaan hanya menjerat Ketua Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur, La Nyalla Mattalitti dengan UU Anti Korupsi saja. Seharusnya, Kejaksaan juga menjerat dia dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). “Sayang, tidak diteruskan dengan UU TPPU,” kata Koordinator Jaringan Anti Korupsi Jawa Timur yang juga staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Iqbal Felisiano, Selasa 20 April 2016.
Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dua kali menetapkan La Nyalla sebagai tersangka korupsi dana hibah Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur untuk membeli saham perdana Bank Jatim pada 2012. Sebelumnya, kejaksaan pernah mengeluarkan surat perintah penyidikan tentang tindak pidana pencucian uang untuk penggunaan dana yang sama. Surat perintah penyidikan dikeluarkan pada 15 Februari 2016 dan 27 Januari 2016.
Pejabat Kadin, Diar Kusuma Putra diperiksa dalam perkara itu. Namun, Diar mengajukan permohonan praperadilan pada 19 Februari 2016 di Pengadilan Negeri Surabaya untuk menguji keabsahan dua surat perintah penyidikan itu. Kedua surat itu, dibatalkan oleh putusan praperadilan yang dibacakan Hakim Efran Basuning di Pengadilan Negeri Surabaya pada 7 Maret 2016.
Alasannya, kata Hakim, perkara itu sudah pernah diputus Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya pada akhir Desember 2015. Sehingga, menjadikan La Nyalla sebagai tersangka dalam kasus ini nebis in idem, yakni mengadili lagi perkara yang sudah diputus.
Kejaksaan kembali menetapkan La Nyalla sebagai tersangka pada 16 Maret 2016 dengan korupsi yang sama dengan yang dipraperadilankan Diar. Jaksa menetapkan La Nyalla sebagai tersangka korupsi dana hibah Kadin Jawa Timur untuk membeli saham perdana Bank Jatim pada 2012 sebesar Rp5,3 miliar. Ia disangka mengantongi hasil penjualan saham itu dengan keuntungan Rp1,1 miliar. Tidak terima karena Hakim Efran Basuning sudah menyatakan semua penyidikan terkait dana hibah dianggap tidak sah, La Nyalla kembali mengajukan praperadilan untuk menguji kepastian hukumnya.
Pada 12 April 2016, Hakim Tunggal Ferdinandus mengabulkan permohonan praperadilan La Nyalla di Pengadilan Negeri Surabaya. Hakim mengatakan tidak ada kerugian negara dalam kasus ini. Belum sampai 12 jam La Nyalla menang, kejaksaan sudah mengeluarkan dua surat perintah penyidikan dan penetapan tersangka lagi.
Iqbal menyebut tindakan jaksa menujukkan sikap tidak profesional. Setelah La Nyalla ditetapkan sebagai tersangka korupsi, Jaksa justru membiarkan kasus tindak pidana pencucian uang. Padahal, kata Iqbal, tindak pidana ini tidak hanya akan menjerat La Nyalla saja. “TPPU justru akan membuka mega korupsi di Jawa Timur.”
Jaringan Anti Korupsi Jawa Timur sedang meneliti kemungkinan keterlibatan pihak lain dalam kasus La Nyalla. ”Korupsi La Nyalla Rp5,3 miliar itu kecil.” Iqbal berharap kejaksaan tidak setengah-setengah menangani kasus ini.
Kepala Seksi Pernyidikan Kusus Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Dandeni Herdiana mengatakan menangani tindak pidana pokok terlebih dahulu, yakni korupsi. Setelah itu, mengusut tindak pidana pencucian uang, jika memungkinkan. Ia mencontohkan, ketika pertama kali mengeluarkan surat perintah penyidikan yang pertama untuk kasus korupsi, tidak sekaligus mengeluarkan Tindak Pidana Pencucian Uang. “Masalahnya, belum apa-apa kami sudah di praperadilankan,” kata Dandeni kepada Tempo menunjuk praperadilan yang diajukan Diar, 19 April 2016.
Kini, tak diketahui keberadaan La Nyalla. Penasehat hukum dan keluarganya tutup mulut. Ia sempat terlacak berada di Singapura.
SITI JIHAN SYAHFAUZIAH