TEMPO.CO, Yogyakarta - Pemerintah DIY terancam tidak mendapat pemasukan pendapatan asli daerah (PAD) dari pembangunan bandar udara baru yang direncanakan di pesisir selatan Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo. Lantaran pemerintah DIY hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, sedangkan operator dan eksekutor adalah PT Angkasa Pura I.
“Ya. Tapi peluang menanam saham kan bisa dengan cara lain, misalnya ada aset yang dimanfaatkan,” kata Asisten Sekretaris Daerah Bidang Perekonomian dan Pembangunan DIY Gatot Saptadi saat ditemui di Kepatihan Yogyakarta, Rabu, 20 April 2016.
Gatot mencontohkan aset yang dimaksud adalah pembangunan terminal kargo atau very important person (VIP) room. Dia mencontohkan model pembangunan sarana oleh pemerintah DIY yang dikelola Angkasa Pura adalah lahan parkir di Bandara Adisutjipto di Sleman. Pemerintah DIY mendapatkan pemasukan Rp 800 juta per tahun dari hasil pengelolaan lahan parkir.
“Tapi kalau pembangunan bandara (Kulon Progo) memang Angkasa Pura semua. GVK tidak jadi (Grama Vikash Kendra Power & Infrastructure, investor asal Mumbai, India),” kata Gatot.
Dia pun optimistis keuntungan didapatkan dari dampak pembangunan bandara yang berupa peningkatan perekonomian dan pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat. Dia mencontohkan, bandara baru akan menggaet wisatawan ke wilayah DIY lebih banyak lagi. “Itu nanti. Bandara saja belum dibangun,” kata Gatot yang belum bisa menjelaskan konsep pembangunan perekonomian bagi warga terdampak bandara.
Dia berdalih, saat ini fokus pada appraisal (penghitungan nilai ganti rugi) dan penyiapan relokasi. Penandatanganan kontrak appraisal baru dilakukan pada 22 April 2016. Kemudian dilanjutkan dengan pengumuman nilai ganti rugi dan dilanjutkan musyawarah dengan 518 kepala keluarga yang terdampak. Sedangkan lokasi relokasi direncanakan menggunakan tanah kas desa dan tanah Pakualaman. “Tanah kas desa untuk ganti rugi lahan pertanian. Kalau tanah Pakualaman untuk hunian,” kata Gatot.
Implikasinya, warga terdampak tidak bisa mempunyai hak milik atas kedua tanah tersebut. Penggunaan tanah kas desa hanya sebatas hak guna lahan atau sewa, sedangkan tanah Pakualaman dengan sistem Magersari (sewa tanah).
Anggota Komisi C DPRD DIY, Huda Tri Yudiana meragukan optimisme pemerintah DIY yang menyatakan bandara baru bisa meningkatkan kesejahteraan warga terdampak. Lantaran sampai saat ini belum ada konsep yang jelas berkaitan dengan ganti rugi, baik benda bergerak maupun tidak bergerak, juga relokasi bagi warga.
“Kalau memang sudah jelas lokasi relokasinya, mana? Kami akan ke sana,” kata Huda saat ditemui Tempo di ruang Fraksi PKS DPRD DIY, Rabu, 20 April 2016. Komisi C berencana akan menemui pihak PT Angkasa Pura I di Jakarta. “Karena yang bisa menjelaskan itu Angkasa Pura yang di Jakarta, bukan di sini,” kata Huda.
PITO AGUSTIN RUDIANA