TEMPO.CO, Jakarta - Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 melalui Pendekatan Kesejarahan secara resmi ditutup pada Selasa petang, 19 April 2016. Lagu wajib Bagimu Negeri berkumandang di ruangan Hotel Aryaduta, Jakarta, tempat diselenggarakannya acara itu selama 2 hari.
Semua bernyanyi, baik panitia, para pelaku, korban, maupun wartawan. Ada yang terisak, ada pula yang berteriak merdeka. Sesudahnya, panitia, Ketua Pengarah Agus Widjojo, dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Sidarto Danusubroto, berkeliling ke seluruh penjuru ruangan, menyalami peserta, para pelaku, dan korban. Mereka berpelukan.
Malam itu, sebelum menutup acara dengan memukul gong dan menyanyikan Bagimu Negeri, anggota Sidarto Danusubroto baru saja membacakan hasil refleksi simposium. Simposium ini digelar oleh Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; dan Dewan Pertimbangan Presiden.
Sidarto Danusubroto, saat membacakan refleksi simposium, menyebut keterlibatan negara pada konflik kekerasan masa lalu. "Kami mengakui adanya konflik horizontal dan mengakui adanya keterlibatan negara," ucapnya.
Dalam penjelasannya, Sidarto menegaskan, tragedi kemanusiaan pada 1965 dianggap sebagai pelanggaran HAM berat. Sebab, tragedi itu banyak memakan korban jiwa, utamanya bagi mereka yang dituduh terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tragedi tersebut didahului dengan aksi penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan satu perwira pertama TNI Angkatan Darat, yang kemudian dikenal sebagai tujuh pahlawan revolusi.
Tragedi ini, kata Sidarto, memiliki keterkaitan dengan politik internasional, yaitu perang dingin. Ada keterlibatan negara dalam tragedi tersebut.
Menurut Sidarto, tragedi itu harus diakui dengan kebesaran jiwa bahwa Indonesia belum bisa mengelola bangsa yang majemuk secara beradab, terutama terhadap perbedaan ideologi yang masih terus membayangi sampai saat ini.
Juga atas banyaknya orang yang menjadi korban. Sidarto mengatakan korban mencapai belasan ribu. Mereka disiksa, diburu, dipenjara tanpa alasan, tanpa proses pengadilan, tanpa pembelaan diri, serta dirampas haknya sebagai warga negara.
Pembacaan rekomendasi itu disambut dengan tepuk tangan riuh dan tangis haru dari mereka yang menantikan hal tersebut selama 50 tahun lebih.
Sidarto berharap, simposium ini merupakan langkah awal penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara menyeluruh dan berkeadilan. Menurut dia, rekomendasi simposium akan disusun tim perumus. Rekomendasi itu akan memuat tiga poin, yakni rekonsiliasi, rehabilitasi, dan kewajiban negara melindungi warga negaranya.
"Saya harap simposium ini merekomendasikan rehabilitasi umum kepada korban HAM supaya hak sipil mereka dipulihkan dan dikembalikan," kata Sidarto.
Sidarto menegaskan, stigma negatif kepada korban harus dihentikan. Ia berkata, dosa turunan tidak boleh lagi terwujud.
Simposium yang terselenggara di Jakarta itu diharapkan berlangsung di daerah-daerah lain. Sidarto berujar, pemerintah wajib menjamin kegiatan tersebut berlangsung tanpa intimidasi kelompok intoleran."Negara harus hadir melindungi warga sesuai dengan konstitusi," ucapnya.
WDA | ISTMAN | ANTARA
Jejak CIA dalam Tragedi 1965 (3); "Jerman Juga... oleh tempovideochannel