TEMPO.CO, Yogyakarta - Seorang raja boleh jadi tidak punya akta kelahiran, tapi seorang pejabat publik harus punya surat legalitas kelahiran. Inilah yang terungkap dalam rapat klarifikasi panitia khusus penetapan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta di DPRD DIY hari ini, Selasa. 19 April 2016.
Menurut pejabat Puro Pakualaman Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Kusumoparasto, yang hadir dalam rapat itu, Paku Alam X yang akan menduduki jabatan publik sebagai Wakil Gubernur DIY memang tidak memiliki akta kelahiran. “Karena dalam kadipaten (Pakualaman) itu menggunakan Pratanda Asal (silsilah). Pakai huruf Jawa,” kata Kusumo berkilah.
Baca Juga:
Pratanda Asal yang dibuat secara tertulis itu berisi asal usul keberadaan Paku Alam X. Keberadaan Pratanda Asal itu punya kekuatan hukum dalam ranah kadipaten. Tapi dia tidak dijelaskan pratanda asal itu punya kekuatan hukum dalam sistim kependudukan pemerintah.
Anggota Dewan juga memasalahnya legalitas sejumlah nama berbeda yang pernah disandang Paku Alam X. Perbedaan nama itu terjadi sejak nama lahir, ijazah sekolah, maupun saat Paku Alam X menjadi pegawai negeri di lingkungan Pemerintahan DIY. Pansus mempersoalkan tidak ada legitimasi bahwa pengguna nama-nama yang berbeda itu adalah orang yang sama.
Perbedaan nama itu meliputi nama kecil Raden Mas Wijiseno Hariyo Bimo yang kemudian berubah menjadi Bendara Pangeran Hariyo (BPH) Suryodilogo. Setelah menjadi putera mahkota dari almarhum Paku Alam IX menjadi Kanjeng Bendara Pangeran Hariyo (KBPH) Prabu Suryodilogo dan setelah naik tahta menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam X.
Kusumoparasto menjelaskan, Puro Pakualaman akan mendaftarkan nama-nama itu dalam akta yang ditandatangani notaris. Tapi menurut anggota Pansus Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Poerbodiningrat, akta notaris saja belum cukup. “Harus ada penetapan dari pengadilan negeri setempat,” kata anggota Fraksi PDI Perjuangan di ruang rapat pansus DPRD DIY.
Anehnya, menurut anggota pansus dari Fraksi PKS Agus Sumartono, pada saat proses penetapan Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur DIY dan Paku Alam IX sebagai wakilnya pada 2012, pansus tidak mempersoalkan legalitas berbagai nama kedua pejabat publik itu. Meski perubahan nama Sultan dari GBPH Mangkubumi menjadi Hamengku Buwono X juga tanpa penetapan pengadilan.
Keduanya melenggang ke kursi Gubernur dan Wakil Gubernur tanpa hambatan. “Karena saat itu tidak ada anggota pansus yang mempersoalkan itu. Berkas-berkas persyaratan dianggap lengkap,” kata Agus kepada Tempo. Ternyata masalahnya hanya sesederhana itu.
PITO AGUSTIN RUDIANA