TEMPO.CO, Jakarta - Petani Kulon Progo, Yogyakarta menggugat putusan Mahkamah Agung yang memenangkan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta soal Izin Penetapan Lokasi nomor 07/G/2015/PTUN.Yk/456K/TUN/2015. Melalui kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, mereka mengajukan upaya Peninjauan Kembali. Sebab, putusan Mahkamah Agung itu mengesahkan surat Izin Penetapan Lokasi oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Yogi Zul Fadhli, kuasa hukum petani, mengatakan sedikitnya ada lima kejanggalan dalam keputusan Mahkamah Agung tersebut. "Keputusan Mahkamah Agung keliru dan khilaf," katanya, Senin, 18 April 2016.
Kejanggalan itu antara lain hakim Mahkamah Agung menggunakan lampiran Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2013 tentang rencana pembangunan jangka menengah daerah 2012-2017. Dengan peraturan ini, kata Yogi, aturan lain soal pengaturan fundamental tata ruang terabaikan. Padahal tata ruang sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010.
Selain itu, izin penetapan lokasi menyalahi aturan tata ruang. Juga surat keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 68/KEP/2015 itu tidak pernah disertai dokumen lingkungan hidup. Alasan lain penolakan adalah fungsi kawasan lindung geologi pantai di Kulon Progo diabaikan oleh hakim. "Peninjauan Kembali menjadi penyemangat warga yang menolak pembangunan bandara," kata Yogi.
Para petani dan warga yang lokasi lahan serta kampungnya terkena proyek pembangunan bandar udara menggeruduk kantor Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta, Senin, 18 April 2016. Dengan menggunakan sembilan bus dari Kulon Progo, mereka membawa spanduk dan postur penolakan pembangunan bandara udara baru itu.
Kelik Martono, Ketua Wahana Tri Tunggal, wadah para petani penggugat pembangunan Bandara Kulon Progo, heran dengan keputusan Mahkamah Agung yang membatalkan hasil gugatan Izin Penetapan Lokasi di PTUN. Ia mengatakan sebanyak 80 persen dari total 650 hektare lahan yang akan digunakan bandara merupakan tanah milik warga yang bersertifikat. "Kami, para warga, tidak pernah merepotkan pemerintah. Kami tidak digaji pemerintah, salah kami apa," kata Kelik.
Menurut Kelik, para petani di Kecamatan Temon, Kulon Progo itu jelas menentang karena lahan mereka tergusur. Beberapa desa juga akan terkena pembangunan bandara udara itu. Penghidupan sebagai petani cabai, semangka, dan sayuran itu terancam hilang. "Petani bisa hidup dengan bertani, bukan dengan bandara," kata Kelik. "Kami juga memohon kepada Sultan untuk berkenan membatalkan Izin Penetapan Lokasi bandara baru."
Sedikitnya 300 warga petani mendatangi kantor pengadilan yang ada di Janti, Banguntapan, Bantul, Senin, 18 April 2016. Poster yang dibawa bertuliskan antara lain "Petani bergerak mbenerke putusan sing ora bener" atau petani bergerak membetulkan putusan yang tidak benar. Juga ada tulisan "Hukum jangan direkayasa" dan "Ora butuh relokasi gratis". Selain itu, ada tulisan "Bukan kami yang menyindir, tapi kamu yang harus mikir".
MUH SYAIFULLAH