TEMPO.CO, Jakarta -Banyak peserta yang hadir dalam Simposium Membedah Tragedi 1965 menyuarakan soal perlunya negara bersikap dalam tragedi itu. Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam berharap negara, dalam hal ini mendesak Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin negara yang kini aktif berani bersikap, salah satunya minta maaf kepada para korban peristiwa 1965 mewakili pemerintah.
“Yang (mesti) meminta maaf adalah Presiden Jokowi, bukan Luhut,” kata Asvi di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin 18 April 2016.
Menurut Alvi, permintaan maaf terhadap korban harus dilakukan oleh Jokowi dan tidak bisa diwakilkan, sebab yang melakukan kekeliruan adalah negara. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan pun tidak memiliki kapasitas untuk meminta maaf.
Pekerjaan rumah lainnya menurut Asvi adalah, Presiden Jokowi sebaiknya merehabilitasi para korban tragedi 1965. Pada urutan pertama yang mesti direhabilitasi, kata dia, adalah Presiden Sukarno. "Korban 1965 yang pertama dan utama, ialah mantan Presiden Sukarno," kata Asvi.
Menurutnya, Ketetapan MPRS Nomor 23 Tahun 1967 dan Ketetapan MPR Nomor 1 Tahun 2003 mengakibatkan penahanan dan perlakuan yang tidak layak kepada Sukarno.
Pada akhirnya, ujar Asvi, stigma dan diskriminasi terkait peristiwa 1965 dalam bentuk peraturan atau apapun, harus dicabut pemerintah.
"Sebaiknya Presiden Jokowi mengeluarkan Keppres (Keputusan Presiden) rehabilitasi atas Sukarno dan korban G30S," ujar Asvi.
WDA