TEMPO.CO, Jakarta - Keterlibatan Muhammadiyah mengadvokasi kasus Siyono menimbulkan sejumlah pertanyaan di publik. Apakah Muhammadiyah membela Siyono karena dia keluarga Muhammadiyah? Apa saja kecurigaan Muhammadiyah atas kejanggalan kematian Siyono? Kenapa baru sekarang Muhammadiyah mengadvokasi korban Densus 88, dan lainnya?
Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir blak-blakan menerangkan hal-hal tersebut dalam wawancara khusus dengan Tempo, Kamis pekan lalu. Berikut ini petikan wawancaranya.
Apakah pembelaan ini karena Siyono warga Muhammadiyah?
Bukan. Itu adalah persepsi yang berkembang, bahwa Muhammadiyah membela karena Siyono adalah keluarga atau pengurus Muhammadiyah. Sudah kami cek ke daerah, Siyono ini bukan anggota Muhammadiyah. Istrinya juga bukan.
Sempatkah bertanya kepada istrinya, kenapa datang mengadu ke Muhammadiyah?
Karena sudah terbiasa orang datang mengadukan masalahnya, kami tidak bertanya lagi.
Apakah Muhammadiyah sudah punya kecurigaan atas janggalnya kematian Siyono?
Di media sudah dibuka kejanggalan-kejanggalan itu. Daripada berprasangka buruk kepada kepolisian, sekalian saja kami bekerja sama mengungkap kasus ini. Supaya bisa terungkap apa saja kesalahan-kesalahannya. Ketika ketemu dengan Kepala Polri, kami disambut baik. Beliau bilang, polisi punya mekanisme sendiri melakukan evaluasi kinerja aparatnya.
Korban akibat penanganan terorisme sudah ada sejak dulu, kenapa baru sekarang Muhammadiyah peduli?
Sebenarnya lembaga hukum Muhammadiyah level daerah sudah ada yang pernah advokasi, tapi mungkin gaungnya kurang. Yang sekarang ini karena sorotan nasional, jadi seakan-akan Muhammadiyah baru sekarang. Tidak ada yang spesifik menjelaskan itu. Karena Muhammadiyah bukan lembaga advokasi seperti LBH. Mungkin sekarang persepsi publik saja: karena Muhammadiyah yang melakukan, seakan-akan besar.
[Ada sejumlah korban penembakan Densus 88 antara lain Muhammad Hidayah (Juli 2003); Wiwin Kalahe (Januari 2007); Nurul Haq, Ozi, Rizal, Edo, dan Amril (Desember 2012). Belum termasuk mereka yang mengalami penganiayaan, seperti 14 warga Poso pada 20 Desember 2012 dan Nur Prakoso pada Desember 2015.]
TITO SIANIPAR