TEMPO.CO, Jakarta - Politik merupakan dunia yang penuh formalitas. Namun tidak untuk konvensi calon independen Kepala Daerah Kota Yogyakarta, yang digelar di sebuah ruangan di lantai dua gedung Jogja Expo Center, Minggu, 17 April 2016. Pertemuan ini berlangsung santai, jauh dari kesan formal.
Acara konvensi yang diikuti empat peserta dari berbagai latar belakang itu awalnya dibayangkan bakal menjadi tempat adu argumentasi dan sarana menjatuhkan lawan. Namun justru berjalan lancar. Empat peserta itu ialah Emmy Yuniarti Rusadi (peneliti Universitas Gadjah Mada), Fitri Paulina Andriani (Inspektorat Kota Yogyakarta), Garin Nugroho (sineas dan budayawan), dan Rommy Heryanto (konsultan UMKM).
Sebelum memulai sesi konvensi pertama, empat peserta diminta hompipa oleh pembawa acara, yang menyebut namanya “Alit-alit Jabang Bayi”. Hompipa dilakukan untuk mengundi peserta yang harus menjawab pertanyaan. Undian itu mereka pilih dari gulungan kertas yang dibuat tim panel ahli. Tim panel yang hadir antara lain bekas Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, Busyro Muqoddas, serta Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi UGM Zainal Arifin Mochtar.
Setelah peserta menjawab pertanyaan panelis, giliran warga bertanya. Banyolan demi banyolan meluncur dari mulut pembawa acara sehingga suasana konvensi tidak tegang.
Saat warga bernama Joko Wico memperkenalkan diri dengan menyingkat namanya menjadi Jokowi, pembawa acara meminta peserta konvensi menjawab dengan serius. Sebab, yang bertanya bernama Jokowi.
Semua warga yang hadir juga dibuat tergelak saat seorang ibu bernama Mira, yang mengaku aktivis lembaga swadaya masyarakat, meminta peserta konvensi yang lolos segera menghubunginya untuk pengumpulan kartu tanda penduduk sebagai syarat maju pilkada. "Saya jamin calon independen bisa dapat banyak KTP karena saya biasa mengurusi KTP warga saat bergerak dengan yayasan saya," ujarnya.
Konvensi yang tak biasa ini pun diisi dengan acara pembacaan puisi dan kegiatan seni lainnya. Koordinator relawan Gerakan Jogja Independen, Lukas Ispandriarno, mengatakan konsep konvensi kali ini serius tapi santai, mengusung semangat “ikuti, awasi, dan gembira”. "Seluruh proses, dari awal sampai akhir, didukung iuran dan gotong-royong," ujarnya. Misalnya, untuk sewa gedung, yang seharusnya Rp 5 juta, karena kebaikan pemilik, jadi dipotong 50 persen. "Konsumsi pun hasil sumbangan."
PRIBADI WICAKSONO