TEMPO.CO, Semarang - Komisi Keuangan DPRD Jawa Tengah, meminta Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Badan Kredit Kecamatan (BKK), tidak menyalurkan kredit konsumtif. Tujuannya, untuk mengantisipasi kredit macet di tengah situasi perekonomian di Jawa Tengah yang masih lesu.
Anggota Komisi C (Bidang keuangan) DPRD Jawa Tengah, Jamaluddin, meminta BPR-BKK di Jawa Tengah fokus menyalurkan kredit yang sifatnya produktif kepada masyarakat. “Data selama 2015 menunjukan rasio kredit produktif BPR BKK se-Jawa Tengah baru 59,27 persen,” kata Jamaluddin di Semarang, Minggu (17/4).
Menurut Jamaluddin, ada beberapa kabupaten/kota di Jawa Tengah yang penyaluran kredit produktifnya oleh BPR-BKK masih rendah, atau dibawah 30 persen. Seperti di Kota Semarang hanya 12,70 persen, Kota Salatiga 14,60 persen, dan Kota Pekalongan 18,06 persen.
Ada pun beberapa kabupaten/kota yang BPR-BKK bagus dalam penyaluran kredit produktif, adalah Sragen Rp 409,4 miliar, atau rasionya 89,29 persen, dan Banjarnegara Rp 264,1 miliar, dengan rasio 79,04 persen.
Jamaluddin menyatakan, fokus BPR-BKK pada penyaluran kredit produktif itu, dalam upaya membantu meningkatkan ekonomi masyarakat kecil. Ini juga sesuai arahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “BPR BKK sebaiknya lebih fokus melayani kebutuhan masyarakat kecil. Seperti petani, peternak, nelayan, pedagang, dan pengusaha kecil yang belum dijangkau bank umum,” kata Jamaluddin.
Biro Perekomian Jawa Tengah melansir, angka penyaluran kredit produktif BPR BKK meningkat dalam tiga tahun terakhir. Tahun 2013 kredit produktifnya sebesar Rp 2,93 triliun, atau 55,31 persen. Pada 2014 sebesar Rp 3,55 triliun, atau 59,39 persen. Dan pada 2015 sebesar Rp 3,90 triliun.
Kredit konsumtif, kata Jamaluddin, biasanya disalurkan BPR BKK kepada para pegawai, baik di instansi pemerintah atau swasta, yang pengembaliannya diangsur dengan potong gaji setiap bulan. “Karena ada jaminan potong gaji. Banyak BPR BKK lebih menyukai cara ini, untuk menekan non performing loan (NPL),” katanya. Sedangkan kredit produktif akan akan menambah resiko NPL, karena pengembaliannya bisa tidak pasti.
DPRD Jawa Tengah meminta seluruh BPR di Jawa Tengah segera berbenah menyusul tingginya rasio angka kredit macet atau sering disebut non Performing Loan" (NPL).BPR yang NPL-nya tinggi di Kabupaten Tegal yang mencapai level 15,33 persen. "Ini sudah sangat membahayakan," kata Jamaluddin.
NPL merupakan salah satu indikator untuk mengukur kualitas BPR dalam sisi aktiva produktif. Semakin tinggi NPL maka semakin buruk kualitas BPR. Secara teori, sebuah perbankan bisa disebut masuk kategori sehat jika rasio NPL kurang dari 5 persen.
Selain Kabupaten Tegal, peringkat kedua kredit macet diduduki Purworejo sebesar 11,92 persen dan Kudus 10,09 persen. "Saat ini hanya ada tujuh kabupaten/kota yang angka NPL BPR nya dibawah lima persen," kata Jamaluddin.
Guru besar ekonomi di Universitas Diponegoro Semarang, FX. Sugiyanto, menyatakan kredit macet di BPR saat ini cukup tinggi, terutama yang kredit produktif. Tingginya kredit macet di BPR, karena tingginya target yang dibebankan kepada masing-masing BPR.
Biasanya, kata dia, analis BPR memberikan kelonggaran dan kurang ketat karena mengejar target. Sugiyanto menyarankan, BPR segera melakukan mitigasi, seperti menerapkan manajemen resiko. Apalagi, Otoritas Jasa Keuangan juga sudah mulai mengenakan peraturan manajemen resiko untuk BPR. ROFIUDDIN