TEMPO.CO, Jakarta - Kelompok Front Pancasila menolak pelaksanaan agenda simposium bertema "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan", yang akan berlangsung di Hotel Aryaduta pada 18-19 April 2016.
"Substansi simposium tersebut memiliki tendensi menghidupkan kembali paham komunisme serta permintaan maaf pemerintah atas kebiadaban PKI," ujar Ketua Front Pancasila Shidki Wahab dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu, 16 April 2016.
Menurut dia, pelaksanaan simposium tersebut bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, TAP MPRS no.XXV/MPRS Tahun 196 tentang larangan Partai Komunis Indonesia, serta ajaran seperti Marxisme atau Leninisme.
Berdasarkan penjelasannya, pihak-pihak yang terlibat dalam acara tersebut juga disinyalir memiliki agenda menumbuhkan paham yang sempat dilarang pada rezim Orde Baru tersebut.
"Seharusnya, jika memang berniat membahas melalui pendekatan sejarah, undang juga pihak yang kompeten atau saksi sejarah. Tapi, nyatanya, 85-90 persen peserta ditengarai pendukung PKI," katanya.
Dia memaparkan, alasan penolakan Front Pancasila terhadap pelaksanaan simposium itu antara lain acara tersebut bertujuan mendapatkan legitimasi PKI sebagai korban pelanggaran HAM.
Kedua, simposium ini dimanfaatkan untuk menekan pemerintah agar menyatakan permintaan maaf serta pemberian rehabilitasi dan kompensasi terhadap bekas anggota PKI.
Ketiga, simposium dimanfaatkan untuk menghidupkan kembali paham komunis yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Keempat, simposium hanya akan membuka luka lama sejarah dan dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan baru pada generasi remaja.
Kelima, rekonsiliasi telah berjalan secara natural dan tidak dapat dipaksakan, sehingga para anggota PKI telah dapat hidup damai dan bermasyarakat.
Keenam, hak politik dan perdata para anggota PKI dan keturunannya telah dikembalikan. Hal itu terbukti dengan dihilangkannya tanda "ET" di dalam KTP.
"Sekarang juga sudah banyak kader PKI dan keturunannya yang telah menjadi anggota DPR, DPRD, atau kepala daerah," ujar Shidqi.
ANTARA