Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

FEATURE: Benteng Terakhir Hutan Dayak Tae  

Editor

Anton Septian

image-gnews
Ilustrasi - Hutan (Mengapa Kita Butuh Hutan?). dok. KOMUNIKA ONLINE
Ilustrasi - Hutan (Mengapa Kita Butuh Hutan?). dok. KOMUNIKA ONLINE
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - HUJAN pada pertengahan April ini menyisakan udara lembab pada pagi di Desa Tae, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Hutan masih basah. Jalan setapak licin. Keladi, layang, pakis, dan kantung semar tumbuh rimbun di sepanjang jalan.

Satu pohon durian besar berdiri kokoh di antara pokok-pokok karet dan manggis. Sungkai, bambu betung, aren, dan yang lain tumbuh menyebar. Masyarakat Dayak menyebut hutan ini sebagai "tembawang". “Ini adalah hutan warisan,” kata Tumenggung Anuk, tetua adat Dayak Tae.

Sejak berabad silam, leluhur Dayak membagi hutan untuk anak cucunya. Satu petak untuk satu garis keturunan. Inilah yang disebut tembawang, lahan yang pengelolaannya didasarkan pada aturan adat. Dari tembawang ini kehidupan masyarakat Dayak Tae digantungkan.

Desa Tae kental dengan adat istiadat. Penduduknya suku Dayak. Desa yang terletak di kaki Gunung Tiong Kandang ini adalah satu-satunya desa di Kalimantan Barat yang belum terjamah perusahaan perkebunan.

Tae adalah salah satu dari 31 ribu desa di seluruh Indonesia yang wilayahnya masuk ke dalam kawasan hutan. Sebagian besar lahannya masuk kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Dari total luas 2.538,55 hektare, warga desa Tae hanya bisa memanfaatkan 16,54 persen saja, yaitu 419,97 hektare. Saat ini penduduk Tae mencapai 1.398 Jiwa. Artinya, tiap jiwa hanya bisa memanfaatkan 0,3 hektare lahan.

Kondisi ini membuat Tumenggung Anuk resah. Sebab bibit manusia tumbuh setiap hari, sedang bibit tanah tak mungkin tumbuh. Tiap tahun, lahan yang bisa diolah oleh satu orang Dayak Tae makin sempit.

Keresahan itu makin menjalar ketika pada tahun 2013 sebuah perusahaan tambang melakukan survei di Desa Tae. Ini pertanda awal perambahan hutan. Walau hingga kini belum ada tindak lanjut dari survei tersebut, warga dibayangi rasa was-was. “Pemerintah sering tak adil,” kata Tumenggung Anuk.

Ia menyebut investor diizinkan untuk memanfaatkan lahan dengan berbagai cara. Tak peduli pada masyarakat yang hidup di sekitarnya. Di sisi lain, pemerintah tutup mata terhadap keadaan penduduknya.

***

HUTAN adalah sumber kehidupan. Dari hutan, masyarakat Dayak Tae hidup.

Suku Dayak memiliki hukum tak tertulis dalam memperlakukan hutan mereka. “Tak ada yang boleh menebang pohon di tembawang,” ujar Tumenggung Anuk. Masyarakat Dayak percaya bahwa menebang pohon di hutan adat akan merusak keseimbangan alam. Kematian di tembawang dibiarkan sesuai kehendak alam. Jika ada pohon yang mati, barulah mereka boleh mengganti dengan tanaman lain. Jika ketahuan menebang pohon, hukumannya adalah dikeluarkan sebagai ahli waris.

Ada empat kampung yang masuk di wilayah Tae, yaitu Bangkan, Padakng, Peragong, Mak Ijing, Maet, Semangkar, Teradak, dan Tae. Masing-masing kampung punya 5-10 tembawang. Luasnya berhektar-hektar. Tapi tak ada yang tahu berapa tepatnya--dan memang tak boleh ada yang tahu. Tumenggung Anuk mengatakan, “Biar tidak dijual.”

Mereka hanya boleh menjual hasil hutan pada tengkulak yang datang ke desa. “Tapi tak banyak, sebagian kami gunakan sendiri,” kata Kepala Desa Tae Melkianus Midi.

Tumenggung Anuk mengajarkan bahwa manusia hanya sebatas "meminjam" dari bumi. Sebab itu, manusia tak boleh serakah dalam memanfaatkan sumber daya alam. Petuah inilah yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak. Bahwa alam, “Adalah pinjaman dari Sang Pencipta.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak membawa harapan bagi suku-suku yang tinggal di desa, khususnya suku Dayak Tae. Beleid ini menyatakan bahwa hutan adat kini bukan lagi bagian dari hutan negara dan bisa dikelola oleh masyarakat adat setempat.

Meski demikian, peruntukkan itu bukan tanpa syarat. Ada yang harus diperjuangkan agar suku Dayak Tae bisa mencicipi potensi alam yang sudah dihuni sejak turun-temurun itu tanpa khawatir akan bersengketa dengan pemerintah.

Pertama, desa tempat tinggal mereka harus ditetapkan secara sah oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai desa adat. Selanjutnya, masyarakat hukum adat yang sudah disahkan berhak memberikan permohonan kepada Menteri untuk mengajukan penetapan kawasan hutan.

Setelah diterbitkan Surat Keputusan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maka status hutan yang semula hutan lindung berubah menjadi hutan adat yang bisa dikelola oleh masyarakat.

Perjuangan itu kini sedang berlangsung. Dalam mengajukan permohonan penetapan kawasan hutan, masyarakat wajib melampirkan peta spasial dan sosial. Selain letak geografis, peta itu juga memuat asal muasal sebuah kampung berdiri.

Maka pada 2011, warga desa Tae mulai melakukan pemetaan partisipatif. Hal ini merupakan upaya melepaskan status hutan mereka dari kawasan hutan negara. Peta partisipatif merupakan peta yang harus dilampirkan dalam permohonan pengesahan Desa Tae sebagai desa adat.

Pada tahun 2013, peta partisipatif Desa Tae disahkan oleh Bupati Sanggau. Kini suku Dayak di Tae tinggal menunggu agar desa mereka diakui sebagai desa adat. "Masyarakat Desa Tae menanti kedaulatan atas kampung mereka sejak lama,” kata Matheus Pilin, Direktur Perkumpulan Pancur Kasih, yang membantu warga melakukan pemetaan partisipatif.

Penantian itu tak secepat yang diharapkan. Hingga hari ini, Desa Tae belum disahkan menjadi desa adat. Proses pengesahan desa adat ini macet di pemerintah daerah. “Mandat konstitusi agar diterbitkan perda oleh eksekutif dan legislatif hingga hari ini masih berliku-liku,” ujar Pilin.

Di sisi lain, modernitas menyelusup dengan cepat ke dalam kehidupan muda-mudi suku Dayak. Para tetua adat khawatir tak ada lagi anak cucu yang peduli dengan hukum adat dan kearifan lokal.

Perlahan, pengetahuan tentang adat akan lenyap bersama wafatnya para tetua. Jika suku adat punah, pengelolaan hutan akan kembali kepada pemerintah. Dengan demikian, hutan juga lenyap--begitu yang dipercaya suku Dayak di Desa tae.

MAYA AYU PUSPITASARI

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

Hari Bumi 22 April, Ford Foundation Ingatkan Soal Keadilan Tata Kelola Tanah Adat

2 hari lalu

Aktivis lingkungan membentangkan poster saat aksi Hari Bumi di kawasan Dago Cikapayang, Bandung, Jawa Barat, 22 April 2024. Para aktivis lingkungan hidup dari Orang Muda Berkoalisi berkampanye sampah plastik dengan tema Bumi Pasundan Bebas Plastik Polutan. TEMPO/Prima mulia
Hari Bumi 22 April, Ford Foundation Ingatkan Soal Keadilan Tata Kelola Tanah Adat

Ford Foundation menilai Hari Bumi bisa menjadi momentum untuk mengingatkan pentingnya peran komunitas adat untuk alam.


Ketua Adat Sorbatua Siallagan Ditangkap Polda Sumut Atas Laporan Toba Pulp Lestari

27 hari lalu

Sejumlah massa yang tergabung dalam Aliansi Gerak Tutup TPL melakukan aksi di depan Kementerian Koordiator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jakarta, Rabu, 24 November 2021. Aksi tersebut menyampaikan tuntutan agar Kemenko Kemaritiman dan Investasi mencabut izin konsesi PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) dari wilayah adat serta menghentikan kriminalisasi kepada masyarakat adat Tano Batak. TEMPO/Muhammad Hidayat
Ketua Adat Sorbatua Siallagan Ditangkap Polda Sumut Atas Laporan Toba Pulp Lestari

Sorbatua Siallagan gencar melawan upaya pencaplokan Toba Pulp Lestari. Ia dilaporkan karena menduduki kawasan hutan di area konsesi PT TPL.


Komitmen Iklim Uni Eropa Dipertanyakan, Kredit Rp 4 Ribu Triliun Disebut Mengalir ke Perusak Lingkungan

29 hari lalu

Uni Eropa menegaskan keinginan menolak komoditas yang dihasilkan dengan membabat hutan dan merusak lingkungan
Komitmen Iklim Uni Eropa Dipertanyakan, Kredit Rp 4 Ribu Triliun Disebut Mengalir ke Perusak Lingkungan

Sinarmas dan RGE disebut di antara korporasi penerima dana kredit dari Uni Eropa itu dalam laporan EU Bankrolling Ecosystem Destruction.


Ombudsman Minta OIKN Hati-hati di Pembebasan Lahan Warga Kawasan IKN

31 hari lalu

Pj Bupati Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur Makmur Marbun bersama Forkopimda saat berdialog dengan sembilan tersangka yang telah ditangguhlan penahanannya. Foto: ANTARA/HO-dokumen Humas Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara
Ombudsman Minta OIKN Hati-hati di Pembebasan Lahan Warga Kawasan IKN

Ombudsman meminta Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) hati-hati dalam pembebasan lahan warga di kawasan IKN.


Terkini: Jokowi akan Resmikan Bandara Mutiara Sis Al-Jufri Pasca Kena Gempa 2018, Polemik Pembangunan IKN Terakhir Dugaan Penggusuran Masyarakat Adat

32 hari lalu

Kondisi terkini Bandar Udara Mutiara SIS Al-Jufrie di Palu, Sulawesi Tengah, yang terdampak gempa dan tsunami. Pagi ini, Rabu, 10 Oktober 2018, bandara itu sudah beroperasi kembali dan didarati pesaeat komersial. TEMPO/Francisca Christy Rosana
Terkini: Jokowi akan Resmikan Bandara Mutiara Sis Al-Jufri Pasca Kena Gempa 2018, Polemik Pembangunan IKN Terakhir Dugaan Penggusuran Masyarakat Adat

Dalam waktu dekat Presiden Jokowi bakal meresmikan Bandara Mutiara Sis Al-Jufri, Palu, setelah direkonstrasi usai terdampak Gempa Palu pada 2018.


Reaksi DPR hingga Amnesty International Soal Rencana Penggusuran Warga Pemaluan demi IKN

36 hari lalu

Pemandangan umum pembangunan bendungan Intake Sepaku, yang akan memasok air bersih untuk ibu kota baru Indonesia yang diproyeksikan Ibu Kota Negara Nusantara, di Sepaku, provinsi Kalimantan Timur, 6 Maret 2023. Masyarakat Adat Balik Menolak Penggusuran Situs-Situs Sejarah Leluhur, Menolak Program Penggusuran Kampung di IKN dan Menolak Relokasi. REUTERS/Willy Kurniawan
Reaksi DPR hingga Amnesty International Soal Rencana Penggusuran Warga Pemaluan demi IKN

Anggota DPR mengingatkan jangan sampai IKN membuat warga setempat jadi seperti masyarakat adat di negara lain yang terpinggirkan.


Masyarakat Adat di IKN Nusantara Terimpit Rencana Penggusuran dan Dampak Krisis Iklim, Begini Sebaran Wilayah Mereka

36 hari lalu

Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto mengecek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur, Senin (18/3/2024), yang direncanakan menjadi lokasi upacara HUT Ke-79 RI pada 17 Agustus 2024. ANTARA/HO-Biro Humas Setjen Kemhan RI.
Masyarakat Adat di IKN Nusantara Terimpit Rencana Penggusuran dan Dampak Krisis Iklim, Begini Sebaran Wilayah Mereka

AMAN mengidentifikasi belasan masyarakat adat di IKN Nusantara dan sekitarnya. Mereka terancam rencana investasi proyek IKN dan dampak krisis iklim.


Pakar Sosiologi Unair Tekankan Dialog Hukum Adat dan Negara untuk Selesaikan Konflik Masyarakat Adat-IKN

36 hari lalu

Pembangunan Rumah Tapak Jabatan Menteri di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kalimantan Timur, 26 Februari 2024. ANTARA/HO-Bagian Hukum dan Komunikasi Publik Direktorat Jenderal Perumahan Kementerian PUPR
Pakar Sosiologi Unair Tekankan Dialog Hukum Adat dan Negara untuk Selesaikan Konflik Masyarakat Adat-IKN

Dialog, komitmen, dan simpati dari pihak IKN terhadap masyarakat lokal dinilai belum terwujud.


Anggota DPR: Masyarakat Adat di IKN Jangan Diperlakukan seperti Aborigin di Australia

37 hari lalu

Suasana rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI dengan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 18 Maret 2024. Rapat tersebut beragendakan perkenalan Kepala Otorita IKN beserta jajarannya dan pemaparan progres pembangunan IKN. TEMPO/M Taufan Rengganis
Anggota DPR: Masyarakat Adat di IKN Jangan Diperlakukan seperti Aborigin di Australia

Anggota DPR mengatakan bahwa jangan sampai IKN membuat warga setempat menjadi seperti masyarakat adat di negara-negara lain yang terpinggirkan.


Soal Ultimatum Otorita IKN, Pakar Sebut Hukum Tak Melindungi Masyarakat Adat

38 hari lalu

Beginilah penampakan Ibu kota Nusantara di Indonesia nantinya bila semua pembangunan sudah selesai. (Foto: IKN)
Soal Ultimatum Otorita IKN, Pakar Sebut Hukum Tak Melindungi Masyarakat Adat

Pakar hukum Unair menyebut sejumlah kebijakan terbaru otorita IKN sebagai salah satu bukti hukum yang belum melindungi masyarakat adat.