TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Umum Rumah Sakit Sumber Waras Abraham Tedjanegara menjelaskan latar belakang pembelian lahan rumah sakit yayasan itu oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Abraham membantah cerita miring di balik pembelian tersebut.
"Diawali pada 2013 bulan November, kami melakukan perjanjian pengikatan jual-beli dengan PT CKU (Ciputra Karya Utama)," kata Abraham di ruang pertemuan RS Sumber Waras, Jakarta Barat, Sabtu, 16 April 2016.
Perjanjian itu untuk jual-beli tanah milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras seluas 36.410 meter persegi. "Dalam perjanjian dicantumkan, apabila CKU tidak bisa mendapat izin perubahan peruntukan lahan dari suka sarana kesehatan (SSK) menjadi rumah susun sampai 3 Maret 2014, perjanjian batal demi hukum," ujar Abraham.
Ia menjelaskan, nilai jual obyek pajak (NJOP) tanah waktu itu sebesar Rp 12.195.000. Abraham menuturkan Yayasan Kesehatan Sumber Waras menjual kepada Ciputra senilai Rp 15,5 juta. "Bisa kami buktikan bahwa harga yang kami jual adalah harga di atas NJOP," ucapnya.
Tanah yang ingin dijual yayasan ini lebih dari setengah total lahan RS Sumber Waras. Menurut Abraham, sisi tanah yang dijual berada di sayap kiri dari bagian depan rumah sakit tersebut. Ia mengatakan, pada waktu perjanjian dengan Ciputra, ia dan Yayasan Sumber Waras sama sekali tidak berhubungan dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
"Tapi tiba-tiba pada pertengahan Mei 2014, kami melihat ada running text di televisi yang bunyinya, ‘Ahok telah membeli RS Sumber Waras senilai 1,7 T’," ujar Abraham. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat itu adalah pelaksana tugas Gubernur DKI Jakarta. "Ketika kami melihat itu, kami diamkan. Ternyata besok paginya, hampir semua stasiun TV memberitakan."
Abraham masih membiarkan ramainya berita soal Sumber Waras. Namun ia mendapatkan keluhan dari karyawan. Banyak karyawan yang bertanya kepada Abraham, kenapa rumah sakit dijual tanpa informasi kepada mereka. Operasional rumah sakit pun, ucap dia, mulai terganggu.
"Karena itu, kami meminta waktu kepada Pemprov DKI untuk bertemu dengan Pak Ahok," tutur Abraham. Pertemuan mereka pun terjadi pada 6 Juni 2014. "Pak Ahok mengatakan, pada dasarnya dan tidak mungkin perizinan itu diubah, karena sampai hari ini DKI masih sangat kekurangan sarana rumah sakit. Dia bilang, DKI sangat membutuhkan rumah sakit."
Abraham mengaku bertanya ulang, apakah mungkin ada kesempatan untuk mengubah izin peruntukan lahan itu menjadi wisma susun. "Tapi Pak Ahok dengan tegas mengatakan kami berdua (dengan Jokowi) sampai mati tidak akan mungkin mengubah perizinan rumah sakit, karena rumah sakit sangat dibutuhkan oleh DKI," ucapnya.
Perbincangan mereka lalu berlanjut. Ahok bertanya kepada Abraham soal maksud dan tujuan penjualan lahan. Abraham menuturkan untuk meremajakan lokasi itu. "Di situlah ada tawaran dari Pak Ahok, ‘Kenapa tanah ini tidak dijual kepada DKI? Tapi dengan satu syarat: harganya NJOP’," ujar Abraham menirukan Ahok.
Ia pun berembuk dengan direksi dan pimpinan yayasan. Mereka juga mendatangi pihak Ciputra. Menurut Abraham, Ciputra tidak keberatan ada pembatalan jual-beli. Ia juga menyampaikan kepada Ciputra bahwa yayasan bersedia menjual tanah itu kepada Pemprov DKI.
"Itulah awal mulanya terjadi hubungan kami dengan DKI," kata Abraham. Ia menegaskan, pihak Sumber Waras tidak pernah menawarkan rumah sakit itu kepada DKI. "Kedua, hasil pertemuan baru ada rencana, dan kami merundingkan dulu."
Setelah setuju, proses jual-beli pun berlangsung. Penandatanganan akta pelepasan hak dari rumah sakit ke Pemprov DKI terjadi pada 17 Desember 2014. Dalam penjualan itu, ucap Abraham, harga tanah yang ditawarkan rumah sakit sesuai , yakni Rp 20,7 juta.
Abraham juga menawarkan bangunan Rp 25 miliar untuk dibeli Pemprov. Namun, setelah bernegosiasi, penawaran itu tidak disetujui. Pemprov tak membeli bangunan rumah sakit. Total harga tanah yang dibeli Pemprov senilai Rp 755 miliar atau tepatnya Rp 755.689.5dengan NJOP PBB 201450.000. Pembayarannya melalui transfer ke Bank DKI Jakarta Yayasan Sumber Waras.
Pembelian lahan rumah sakit ini memicu polemik. Apalagi setelah Badan Pemeriksa Keuangan menganggap prosedur pembelian menyalahi aturan dan menduga ada kerugian negara hingga Rp 191 miliar. Lalu Komisi Pemberantasan Korupsi menyelidiki kasus ini mulai 20 Agustus 2015.
REZKI ALVIONITASARI
Catatan redaksi:
Berita ini telah direvisi pada Minggu, 17 April 2016. Sebelumnya pada paragraf ketiga dari bawah tertulis harga tanah yang ditawarkan rumah sakit sesuai dengan NJOP PBB 2014 Rp 27 juta. Angka yang benar adalah Rp 20,7 juta.