TEMPO.CO, Jakarta - Panitia Musyawarah Nasional Golkar berencana mewajibkan calon ketua umum menyetor sejumlah dana untuk pembiayaan munas. Adanya kewajiban setoran dana ini ditolak kader Golkar karena dianggap melegalkan politik transaksional pada tubuh partai berlambang beringin tersebut.
"Itu artinya sama saja melegalkan budaya uang yang selama sembunyi-sembunyi menjadi kebiasaan terbuka," kata Ketua Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia saat dihubungi, Rabu, 13 Maret 2016. Dia mengatakan adanya kewajiban setoran ini mengindikasikan panitia munas tak memiliki konsep pelaksanaan munas yang berkualitas.
Doli mengatakan seharusnya panitia bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, serta lembaga lain yang bisa mewujudkan munas yang bersih dan bebas dari politik uang. Dia mengatakan Munas Golkar kali ini seharusnya dijadikan momentum untuk membersihkan politik transaksional seperti yang terjadi selama ini. Dia mengingatkan, sejak awal Munas Golkar digagas, yang dikedepankan adalah pertarungan ide dan konsep. "Bagaimana inovasi mengembangkan dan memajukan partai," ujar Doli.
Doli mengingatkan bahwa budaya setor-menyetor adalah tradisi yang tak lazim dalam organisasi politik. Jika kebijakan setoran ini diterapkan, dia khawatir ini bisa menjadi preseden buruk pada masa depan. Bukan tidak mungkin, kata dia, tradisi ini bakal merambat ke struktur yang lebih rendah, seperti di provinsi, kabupaten, hingga kecamatan."Yang bisa melakukan politik model ini hanyalah pengusaha kaya," tuturnya.
Menurut Doli, jika tak memiliki anggaran untuk munas, sebaiknya panitia memberi tahu seluruh keluarga besar Golkar. Dengan demikian, kata dia, semua kader bisa menggalang dana untuk penyelenggaraan suksesi kepemimpinan dalam tubuh partai beringin. Apalagi generasi muda Partai Golkar telah menginisiasi penggalangan dana untuk penyelenggaraan munas yang berkualitas.
WAYAN AGUS PURNOMO