TEMPO.CO, Klaten - Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah telah menyiapkan sekitar lima hingga delapan dokter ahli forensik dari universitas dan rumah sakit Muhammadiyah guna mengotopsi jenazah Siyono.
“Otopsi akan segera dilakukan, tapi kami tidak bisa menyebutkan kapan. Nanti akan kami umumkan, tidak bisa sebutkan kapan,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak setelah menemui keluarga Siyono di Dukuh Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Rabu siang, 30 Maret 2016.
Siyono, 33 tahun, tewas dalam status tahanan Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri. Ayah lima anak itu meninggal saat proses pemeriksaan pada Jumat, 11 Maret 2016. Polri menyatakan Siyono tewas dalam perjalanan ke rumah sakit setelah berkelahi dengan seorang anggota Densus yang mengawalnya. Namun, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) menemukan sejumlah kejanggalan dalam kematian Siyono.
Selain termasuk dalam proses advokasi terhadap istri dan keluarga Siyono yang menuntut keadilan, Dahnil mengatakan, otopsi yang akan dilakukan Muhammadiyah juga atas permintaan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. “Otopsi itu proses independen oleh lembaga seperti Muhammadiyah. Karena (permintaan otopsinya) tidak digubris oleh aparat formal, Komnas HAM meminta tolong Muhammadiyah,” kata Dahnil.
Kendati demikian, Dahnil berujar, hal ihwal otopsi jenazah Siyono belum dibicarakan spesifik. “Apakah akan dilakukan di sini (Desa Pogung) atau di RS Muhammadiyah terdekat, nanti kami umumkan,” ujar Dahnil.
Rencana otopsi itu menimbulkan reaksi negatif dari Kepala Desa Pogung. Perangkat Desa Pogung menggelar pertemuan di balai desa setempat pada Selasa malam, 29 Maret 2016, yang dipimpin Kepala Desa Pogung Djoko Widoyo. Pertemuan itu menghasilkan surat pernyataan yang mereka sebut kesepakatan bersama warga Desa Pogung.
Isi kesepakatan itu menyebutkan ada tiga sanksi dari warga jika ada pihak keluarga Siyono yang mengizinkan jenazah Siyono diotopsi. Sanksi pertama, otopsi harus dilakukan di luar Desa Pogung. Kedua, jenazah Siyono tidak boleh dimakamkan lagi di Desa Pogung setelah diotopsi. Ketiga, keluarga Siyono yang mendukung otopsi tidak boleh tinggal di Desa Pogung.
“Kami hanya mengakomodasi kepentingan bersama warga. Warga hanya meminta supaya tercipta iklim yang kondusif di Desa Pogung,” kata Djoko saat ditemui di kantornya pada Rabu pagi.
Meski setuju dengan keinginan Djoko yang menolak otopsi, kakak Siyono, Wagiyono, tetap keberatan dengan dua sanksi yang tertera dalam surat pernyataan kesepakatan bersama warga Desa Pogung. “Keluarga kami sudah dalam kondisi seperti ini masak masih harus ditambah (beban) lagi,” kata Wagiyono.
DINDA LEO LISTY