TEMPO.CO, Pekanbaru - Organisasi pegiat lingkungan Greenpece Indonesia mendukung rencana evaluasi perizinan Hak Guna Usaha (HGU) di Riau.
Juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Teguh Surya mengatakan hal tersebut sejalan dengan salah satu tujuan peluncuran peta kepo hutan oleh Greenpeace pada Selasa, 15 Maret 2016.
"Platform peta online tersebut sangat bisa membantu inisiatif Kementerian Agraria membenahi tata kelola perkebunan sawit guna memberi manfaat dan kesejahteraan masyarakat lokal," kata Teguh kepada Tempo, Senin, 28 Maret 2016.
Menurut Teguh, peta online bisa membantu pemerintah melihat dengan jelas tumpang-tindih yang terjadi antara perizinan dan hutan alam, lahan gambut, area moratorium atau habitat satwa yang dilindungi.
Sejak 2014, kata Teguh, Greenpeace Indonesia telah mengidentifikasi setidaknya 1.404 izin perkebunan sawit yang perlu segera ditinjau ulang. Izin-izin tersebut tumpang-tindih dengan area moratorium seluas 1,1 juta hektare.
Begitu juga tumpang-tindih dengan hutan primer seluas 1,2 juta hektare yang berada pada kawasan gambut dengan kedalaman bervariasi, 0 sampai 4 meter, dengan luas 3,5 juta hektare. Sebagian besar lahan perkebunan sawit tersebut terbakar.
"Data tersebut mengisyaratkan evaluasi perizinan perlu dilakukan secara bertahap di seluruh wilayah Nusantara. Peta kepo hutan dapat turut membantu rencana baik pemerintah tersebut," ujar Teguh.
Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan Baldan mengajak pemerintah Riau melakukan audit perizinan lahan yang ada di wilayah Riau. Evaluasi perizinan dilakukan untuk mengatur potensi area lahan demi kesejahteraan masyarakat lokal.
Di hadapan pejabat Riau, Ferry mengatakan pemerintah akan mengevaluasi izin hak guna usaha (HGU) lahan dan memeriksa sejauh mana manfaatnya bagi pendapatan daerah. Investasi yang memanfaatkan lahan di Riau, kata dia, mesti mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat lokal dari keuntungan yang diperoleh dari tanah Riau. "Kita review lagi, kita hitung ulang semuanya," ujarnya.
Menurut Ferry, pemerintah perlu mengaudit luasan HGU yang digunakan perusahaan untuk memastikan apakah semua sesuai dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang berbasis luasan lahan.
Sebab, kata dia, ada kemungkinan perusahaan membayar BPHTB lebih kecil dan tidak sesuai dengan luas lahan yang diberi izin, sehingga ada pemasukan yang hilang untuk daerah. "Kita evaluasi kegiatan ekonominya, produksi, dan luas lahan," tutur Ferry.
Dalam evaluasi ini, kata Ferry, pihaknya juga sudah mempersiapkan Peraturan Pemerintah tentang hak komunal. Kementerian Agraria akan merevisi dan mengambil alih lahan HGU yang di dalamnya ada permukiman yang dikelola masyarakat adat lalu dikembalikan ke masyarakat. Ini akan mengurangi potensi konflik agraria antarwarga dan perusahaan.
"Cara memandang semua keadilan harus kita perbaiki, warga akan kehilangan tempat tinggal jika terusir, sedangkan perusahaan akan tetap hidup meski tidak diberi lahan," jelasnya.
Dengan demikian, Ferry yakin masyarakat juga merasakan haknya demi memperoleh kesejahteraan. Pemerintah Daerah Riau juga tetap mendapat pemasukan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
RIYAN NOFITRA