TEMPO.CO, Jakarta - Muhammad Haekal Dzaky sedang mengisi formulir pendaftaran beasiswa kursus bahasa Jerman. Siswa kelas XI MAN 4 Jakarta ini mengaku sangat gemar bahasa. Ia sudah belajar bahasa Inggris, sejak duduk di sekolah dasar. Ia pun ingin mengembangkan kemampuan bahasa asingnya melalui bahasa Jerman. "Bahasa itu batu pijakan untuk melihat dunia," kata pelajar 16 tahun ini di kantor Euro Management, Menteng, Jakarta Sabtu 26 Maret 2016.
Haekal dengan senang hati mengikuti program belajar bahasa asing gratis itu padahal ia belum memutuskan apakah ia akan melanjutkan sekolah ke luar negeri. Namun menurutnya, dengan belajar bahasa asing, hal itu sudah menjadi salah satu modal baginya menggapai cita-citanya. "Belajar bahasa itu seperti jembatan mendapatkan ilmu yang lebih banyak," katanya.
Ayah Haekal, Singgih Budihartono, 52 tahun sangat mendukung anaknya untuk belajar bahasa asing. Ia menilai belajar bahasa adalah satu hal yang paling penting untuk meraih ilmu lebih banyak lagi. "Belajar bahasa asing salah satu kunci mencari ilmu pengetahuan," kata Singgih.
Ayah dua anak ini memang sudah mendidik anak- anaknya untuk belajar bahasa asing sejak masih kecil. Ia menilai, belajar bahasa memang lebih baik sejak muda karena anak muda lebih mudah menyerap dan mengingat berbagai kosakata. "Semakin muda belajar bahasa, akan mempermudahnya nanti bila mau belajar ke luar negeri," katanya.
Presiden Direktur Euro Management, Bimo Sasongko setuju bahwa bahasa adalah salah satu kunci untuk mendapatkan ilmu di luar negeri. Sayang, menurutnya, tidak banyak orang yang berpikir seperti Haekal dan keluarga. Ia mengatakan, masih banyak keluarga Indonesia yang takut ke luar negeri karena merasa kesulitan dengan bahasa yang perlu dipelajarinya.
"Orang jarang mengirimkan anak ke luar negeri karena takut belajar bahasanya," katanya dalam acara 'Sejuta Habibie Untuk Indonesia'.
Karena itu ia merilis beasiswa bagi 1000 anak SMA se-Jabodetabek untuk belajar 5 bahasa asing, yaitu Jerman, Perancis, Inggris, Jepang dan Belanda selama dua semester. Dengan pengenalan bahasa asing itu, ia berharap, masyarakat Indonesia mau mulai belajar bahasa asing dan terinspirasi untuk belajar ke luar negeri. "Belajar ke luar negeri itu salah satu investasi sumber daya manusia di Indonesia. Contoh saja Habibie yang menjadi bibit unggul Indonesia," katanya.
Menurutnya, dengan mengirim pelajar ke luar negeri, masyarakat Indonesia bisa mempelajari, kebudayaan, disiplin, dan berbagai hal positif dari negara asing itu untuk diterapkan di Indonesia. Sehingga setelah kembali ke Indonesia, anak itu bisa lebih membangun bangsa.
Pengiriman ke luar negeri setelah lulus SMA, kata Bimo sempat populer pada masa BJ Habibie menjadi Menteri Riset dan Teknologi, namun berhenti pada 1997. Menurutnya, jumlah pelajar Indonesia yang belajar ke luar negeri saat ini baru berjumlah sekitar 30 ribu orang. Jumlah itu lebih kecil dibanding Malaysia yang sudah mengirimkan sebanyak 60 ribu pelajar ke luar negeri.
Bimo mengatakan jumlah itu pun masih jauh lebih kecil dibanding Korea Selatan yang besar wilayahnya seperdelapan Indonesia, namun sudah mengirim 180 ribu pelajar untuk belajar ke luar negeri. "Bahkan negara semaju Jepang juga masih mengirim pelajar ke luar negeri, seperti ke Amerika," katanya.
Ia memprediksi semakin banyak anak Indonesia yang pergi ke luar negeri, semakin tinggi kemungkinan mereka menyebarkan berbagai ilmu untuk membangun negeri. "Membangun SDM dengan menyekolahkan mereka ke luar itu, efeknya akan luar biasa," katanya.
Bimo juga menyarankan agar perusahaan lebih banyak memberikan dana CSR-nya untuk pengiriman anak ke luar negeri, dibanding hanya membangun satu sekolah. "Bila anak itu belajar ke luar negeri, anak itu tidak hanya akan membangun satu sekolah tapi bahkan ratusan sekolah untuk Indonesia," katanya.
MITRA TARIGAN