TEMPO.CO, Surabaya - Petani garam di Jawa Timur mengeluhkan serapan garam oleh perusahaan yang rendah. Semestinya, saat musim hujan sekarang ini, harga garam membaik karena musim panen sudah lewat.
Berdasarkan perhitungan, produksi garam rakyat di Provinsi Jawa Timur sebesar 1,157 juta ton. Namun Himpunan Masyarakat Petani Garam (HMPG) Jawa Timur menyebutkan hanya sekitar 40 persen yang diserap pasar. “Itu pun diserap oleh industri kecil mikro, bukan perusahaan besar,” ujar Ketua HMPG Muhammad Hassan saat dihubungi, Jumat, 25 Maret 2016.
Hassan mengatakan garam rakyat menumpuk dan harganya menjadi hancur. Bahkan harga sebagian besar garam rakyat di bawah harga patokan pemerintah (HPP), yakni untuk garam KW 2 berkisar Rp 250-300 per kilogram. Sedangkan untuk KW 1 rata-rata anjlok menjadi Rp 550 per kilogram.
"Mestinya musim hujan begini harga garam naik, tapi justru hancur karena dampak importasi garam oleh para samurai," katanya menunjuk pengusaha para importir garam.
Hassan menuding adanya importir garam besar yang memanfaatkan sisa kuota impor pada 2015 lalu untuk mendatangkan garam dari Australia tahun ini. “Seharusnya tidak boleh karena peruntukan 2015 sudah selesai dan terpenuhi. Ini ada indikasi rembesan dan trading,” tuturnya.
Importir bahkan disebutkannya melakukan bongkar-muat di pelabuhan di Banten, atau melanggar Peraturan Kementerian Perdagangan Nomor 125/2015 tentang pelabuhan tujuan yang harus dekat dengan lokasi izin usaha importir. Berdasarkan peraturan yang sama, si importir seharusnya membongkar di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. “Ini harus diusut.”
Ketua Asosiasi Industri Pengguna Garam Impor (AIPGI) Tony Tanduk tak menampik bahwa ada anggotanya menggunakan sisa kuota impor garam. Namun, perihal izin, ia mempersilakan Tempo menanyakan langsung kepada pemerintah pusat. “Itu kewenangan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. Ya, lihat saja, apakah ada peraturan yang dilanggar atau tidak,” ucapnya.
Tony juga menampik bahwa importasi itu berpotensi merembes ke pasar konsumsi di tingkat masyarakat. “Dicek saja kalau memang ada rembesan ke pasar tradisional,” tuturnya. Meskipun importir, kata Tony, AIPGI berkomitmen menyerap garam rakyat. Pihaknya rata-rata membeli sekitar 900 ribu ton per tahun.
ARTIKA RACHMI FARMITA