TEMPO.CO, Jakarta – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dinilai terbebani klaim yang tidak proporsional dengan kemampuan bujet. Hal ini menyusul dengan wacana naiknya premi BPJS. Menurut pemerhati BPJS, Heri Susanto, pangkal masalah dari ketidakproporsionalan itu bukan rendahnya premi.
Menurut Hari, berdasarkan data BPS 2015, jumlah keluarga miskin hanya berjumlah 25,8 juta orang. Namun, jumlah yang menerima Kartu Indonesia Sehat mencapai 86.4 juta orang. Hal ini dinilai menyebabkan terjadinya pembengkakan klaim.
Meski telah memotong jumlah penerima KIS sebanyak 1,7 juta orang. Namun, hal itu dinilai tidak efektif lantaran tidak tepat sasaran. Menurut Heri, karena BPJS harus menanggung 86,4 juta warga artinya pemerintah harus membayarkan PBI x Rp 23 ribu x 12 bulan sehingga total yang harus dikeluarkan sebesar Rp 25 triliun lebih. Nilai ini belum ditambah dengan defisit Rp 5,7 triliun. Sehingga total dana yang mesti dikeluarkan negara mencapai Rp 30 triliun lebih per tahun.
Karenanya, menurut Heri, kenaikan premi tidak akan berpengaruh banyak terhadap penyelesaian persoalan itu. "Jika PBI naik dan premi dinaikkan pun tetap saja merugi, karena peserta mandiri tidak otomatis akan ikut BPJS, apalagi menerima kenaikan premi tanpa diikuti dengan perbaikan fasilitas kesehatan/pelayanan RS," ujar Hery saat dihubungi Tempo, Jakarta, Jumat, 25 Maret 2016
BPJS Kesehatan memang akan menaikkan premi menyusul besarnya klaim yang diajukan oleh penggunanya. Hal ini menuai protes lantaran, banyak KIS yang tidak tepat sasaran. Dengan jumlah operasional untuk mendata yang benar-benar layak mendapat KIS, upaya menaikkan premi dinilai belum efektif.
MAWARDAH NUR HANIFIYANI