TEMPO.CO, Jakarta - Pementasan Monolog Tan Malaka yang rencananya akan digelar Rabu kemarin di Pusat Kebudayaan Prancis atau IFI Bandung terpaksa batal. Sebabnya, sekelompok orang yang mengaku dari berbagai organisasi islam, termasuk Front Pembela Islam, melarang acara tersebut.
Ketua Bidang Hisbah FPI DPD Jawa Barat Dedi Subu mengatakan, alasan pelarangan acara itu karena Tan Malaka merupakan seorang tokoh komunis. "Ini indikasi penyebaran, ada teater, itu kan hidupkan paham komunis. Itu sudah jelas munculnya komunisme gaya baru," kata Dedi, Rabu, 23 Maret 2016.
Lalu, bagaimana sebenarnya sosok Tan Malaka tersebut?
Tempo pernah mengupas sosok Tan Malaka dalam edisi khusus yang terbit pada 17 Agustus 2008. Dia berasal dari Nagari Pandan Gadang. Rumah gadang beratap ijuk tempat tinggalnya yang berjarak sekitar seratus meter dari jalan raya yang melintasi Suliki, Payakumbuh, 120 kilometer timur laut Padang, itu hingga kini masih kokoh berdiri.
Bernama asli Ibrahim, Tan Malaka mendapatkan gelar datuk pada 1912. Dia dilahirkan di sebuah surau–juga dijadikan tempat tinggal–cuma beberapa langkah dari rumah gadang. Kini suaru itu sudah tidak ada. Tanah tempat surau itu berdiri telah menjadi sawah.
Ibra, begitu Tan Malaka disapa, adalah potret bocah lelaki Minangkabau. Gemar sepak bola, main layang-layang, dan berenang di sungai. Selepas magrib dia mengaji, lalu tidur di surau. Anak lelaki, begitu kelaziman setempat, segan menginap di rumah ibunya. Ibra seorang anak pemberani, bandel, dan nekat, tapi tak pernah meninggalkan sembahyang. “Ia hafal Quran,” kata Zulfikar Kamaruddin, keponakan Tan.
Dari Sumatera Barat, Tan melanjutkan sekolah ke Rijks Kweekschool, Haarlem, Belanda. Berangkat dari Teluk Bayur, Oktober 1913. Di sana, dia berkenalan dengan politik. Saat pulang kampung pada November 1919, cita-citanya cuma satu: mengubah nasib bangsa Indonesia.
Tan Malaka sempat menjadi Menjadi guru sekolah rendah di perkebunan teh Belanda di Deli, Sumatera Utara. Dia kemudian hengkang ke Semarang pada 1921. Tan Bergabung dengan Sarekat Islam.
Dia juga aktif menyatukan gerakan komunis dengan Islam untuk menghadapi imperialisme Belanda. Gara-gara ini, pada 13 Februari 1922 ia ditangkap Belanda di Bandung.
TIM TEMPO