TEMPO.CO, Bandung - Sekelompok orang yang mengaku dari berbagai organisasi Islam mendatangi pusat kebudayaan Prancis IFI, Bandung, Rabu, 23 Maret 2016. Mereka meminta aparat kepolisian membatalkan acara pementasan teater tentang Tan Malaka. "Simpelnya, kami menolak acara yang berbau komunis," kata Ketua Bidang Hisbah Front Pembela Islam DPD Jawa Barat Dedi Subu kepada Tempo di lokasi.
Ormas Islam tersebut, kata Dedi, terdiri atas anggota Gerakan Reformis Islam (Garis), FPI, dan FUI, yang mengatasnamakan warga Bandung. Acuan penolakan teater itu, menurut dia, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor 25 Tahun 1966 dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999. "Penyebaran aliran komunisme dilarang di NKRI," kata Dedi. BACA: Pentas Tan Malaka Dibatalkan
Dia mengancam, kelompoknya akan membubarkan acara yang diselenggarakan Kelompok Mainteater Bandung tersebut jika tetap digelar. "Jangan sampai nanti umat Islam di Jabar khususnya di Bandung datang untuk membubarkan," kata Dedi.
Kelompok Mainteater menyiapkan pementasan terbarunya berupa monolog tentang Tan Malaka. Berjudul Saya Rusa Berbulu Merah, lakon tersebut akan dipentaskan dua kali, pada 23-24 Maret 2016, yang di mulai pukul 20.00 WIB, di auditorium pusat kebudayaan Perancis, IFI Bandung. Penonton dibatasi 150 orang agar pementasan berjalan intim.
Naskah yang ditulis Ahda Imran dengan sutradara Wawan Sofwan, menampilkan aktor Joind Bayuwinanda dalam monolog tersebut. Menurut sutradara, pementasan akan berlangsung sekitar 80 menit. “Tidak mengangkat semua kehidupan Tan Malaka, pada periode 1945-1948,” kata Wawan di sela latihan.
Pada periode tahun tersebut, Tan Malaka memutuskan untuk kembali bergerilya dan berjuang bersama masyarakat setelah keluar penjara. Sebelum mengambil keputusan itu, alurnya mundur atau kilas balik ke masa pembuangan di Pulau Buru, atau perbedaan pendapatnya dengan Sukarno dan Hatta.
Adapun judulnya, berasal dari salah satu sajak Ahda Imran tentang Tan Malaka. Menurut Ahda, salah satu pemikiran Tan Malaka dari sekian tulisannya yang dinilai penting dan aktual sampai sekarang, adalah soal kedaulatan politik terkait dengan kedaulatan ekonomi.
Kedaulatan politik sekarang, ujar dia, bisa terpengaruh kapitalisme asing atau lokal dan neoliberalisme. Politik pun bergerak ke transaksi-transaksi ekonomi. Monolog itu bertujuan menyuarakan pemikiran Tan Malaka yang selama ini terlupakan.
Tan Malaka, yang meninggal dieksekusi di Kediri pada 1949, diangkat menjadi pahlawan nasional dengan Keputusan Presiden RI Nomor 53 pada 28 Maret 1963.
ANWAR SISWADI