TEMPO.CO, Yogyakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menilai saat ini kota yang pernah mendapat julukan toleran tersebut berubah menjadi kota intoleran. Sebab, banyak kasus intoleransi terjadi, terutama dalam beragama.
Selama 2011-2015, LBH mencatat 13 peristiwa pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sebagai contoh, larangan melakukan kegiatan sosial pengobatan massal di Sleman, kekerasan terhadap Ketua Forum Lintas Iman Gunung Kidul, tindakan kekerasan dan pembatasan ibadah keliling sesuai tradisi keagamaan umat Katolik Sleman, penolakan Paskah Adiyuswa di Gunung Kidul, penyerangan terhadap umat Katolik di Ngaglik-Sleman, dan lain-lain.
"Kami ingin Yogyakarta kembali menjadi kota toleran," kata Hamzal Wahyudin, Direktur LBH Yogyakarta, dalam peluncuran Kertas Posisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan “Mengembalikan Yogyakarta sebagai Kota Toleran” di Hotel Santika Yogyakarta, Rabu, 23 Maret 2016.
Selain itu, ada penganiayaan terhadap Julius Felicianus, Direktur Galang Press, pelarangan renovasi Gereja Bethel Indonesia Saman, pelarangan izin pendirian GKI Pos Palagan, pelarangan kegiatan sosial, pelarangan peringatan Paskah oleh Pendeta Stephen Tong di Kridosono, serta penyerangan Kantor Organisasi Rausyan Fikr di Sleman.
Namun lebih dari 10 tahun sejak adanya ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, Indonesia meratifikasi di wilayah DIY terus terjadi pelanggaran hak asasi manusia dan masih menjadi permasalahan sosial yang paling utama. Di Yogyakarta, peristiwa pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan semakin meningkat dalam lima tahun terakhir. "Jumlah itu menunjukkan ada penurunan kondisi di mana Yogyakarta, yang sebelumnya dikenal sebagai City of Tolerance,berubah menjadi daerah darurat intoleransi," kata Hamzal.
Hamzal menambahkan, pelanggaran yang terjadi menimbulkan dampak bagi kehidupan para korban, khususnya kelompok kaum minoritas. Mereka merasa tidak aman dan nyaman dalam berkekuatan ibadah, korban jadi tertutup, izin pendirian rumah ibadah jadi sulit, serta hak berkumpul, berpikir, dan berpendapat menjadi terhambat.
LBH Yogyakarta berpendapat dibutuhkan advokasi kebijakan untuk melindungi umat beragama dari segala macam bentuk diskriminasi. "Pemerintah Yogyakarta belum mempunyai kebijakan yang menjamin dan melindungi hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan," katanya. "Diharapkan pemerintah pusat, pemerintah DIY, serta aparat penegak hukum dapat memaksimalkan perannya melindungi, memenuhi, dan menghormati hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan," kata Hamzal.
Mursoji, Wakil Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama DIY, keberatan jika ada diskriminasi atas kaum minoritas. Sebab, perihal beragama dan berkeyakinan sudah diatur dalam undang-undang. Tentang kaum mayoritas juga sudah ada peraturannya. "Kami belum pernah mendapat laporan penolakan pendirian tempat ibadah. Justru kami mendorong," katanya.
MUH SYAIFULLAH