TEMPO.CO, Surabaya - Pemerintah mengalokasikan anggaran sekitar Rp 250 miliar khusus untuk pengembangan museum di berbagai daerah pada tahun ini. Alokasi itu adalah bagian dari total Rp 1,8 triliun yang dikucurkan untuk Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Alokasi itu diungkap Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Harry Widianto seusai peluncuran Museum dan Pusat Kajian Etnografi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga, Surabaya, Senin, 21 Maret 2016. Adapun khusus untuk Museum Etnografi FISIP Unair Surabaya, dia menambahkan, kebagian Rp 1 miliar untuk pengembangan selama setahun ke depan.
Pengembangan diharapkan berupa revitalisasi museum untuk fisik, manajemen, jejaring, pencitraan, dan SDM museum. "Dana itu diharapkan dimanfaatkan penuh komitmen," katanya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid juga mengatakan Direktorat Jenderal Kebudayaan bakal memfokuskan sebesar 40 persen dari total anggaran Rp 1,8 triliun itu, atau sebesar Rp 720 miliar, dalam bentuk bantuan ke daerah-daerah. “Entah museum, kelompok kesenian, membeli alat musik untuk sekolah kesenian, dan lain-lain,” katanya.
Hilmar menambahkan, perguruan tinggi seharusnya tak hanya fokus mengumpulkan penemuan dan penelitian, tapi juga turut mengkomunikasikan hasilnya. Karena itu, dia memberi penghargaannya kepada upaya setiap perguruan tinggi yang mengembangkan museum sendiri, seperti Universitas Airlangga.
Sejarawan kelahiran Jerman itu tak menampik bahwa umumnya museum minim mendapat perhatian dari pemerintah. Dengan bantuan anggaran, ia berharap museum-museum dapat menghidupkan kembali program-programnya.
Selama ini, pengelola museum masih menggantungkan hidupnya dari alokasi dana yang bersifat administratif. Padahal, dengan merancang program dan konsep informasi yang baik, Hilmar menyatakan museum bisa menarik pengunjung untuk datang melihat koleksi-koleksinya.
"Setiap obyek koleksi museum bisa dipamerkan dengan berbeda-beda. Misalnya, tengkorak dengan gigi maka bisa berbicara tentang pola pangan dari orang di masa lalu, sehingga museum akan lebih hidup," katanya.
ARTIKA RACHMI FARMITA