TEMPO.CO, Kediri – Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan telah berkomunikasi dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM tragedi berdarah 1965 secara nonyudisial. Sebab, dia mengaku pihaknya kesulitan mengumpulkan bukti dan saksi dalam peristiwa yang terjadi pada setengah abad lalu itu.
Jalur nonyudisial, menurut Prasetyo, paling masuk akal untuk menyelesaikan kasus yang terjadi puluhan tahun lalu. “Kita sudah tawarkan upaya nonyudisial melalui rekonsiliasi,” ucap Prasetyo kepada Tempo di Kediri, Senin, 21 Maret 2016.
Menurut Prasetyo, pelanggaran HAM yang terjadi 51 tahun lalu itu menjadi persoalan bagi penyidik, meski telah berupaya mengumpulkan alat bukti. “Kita harus realistis, pelanggaran HAM berat ini terjadi jauh pada masa lalu,” ujarnya.
Namun, tutur dia, bukan berarti Kejaksaan Agung tak berupaya menggali alat bukti. Bahkan Kejaksaan telah membentuk tim kerja gabungan dengan Komnas HAM untuk meneliti kasus tersebut. “Nanti akan kelihatan, apakah perkara ini layak dan patut ditindaklanjuti atau tidak,” katanya.
Lepas dari itu, Prasetyo mendorong penyelesaian kasus ini dilakukan secara nonyudisial. Langkah ini akan dengan cepat menuntaskan perkara tersebut dengan tidak meninggalkan warisan konflik kepada anak cucu.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Pandjaitan menyatakan pemerintah akan memilih jalur nonyudisial untuk menyelesaikan pelanggaran HAM tahun 1965.
Bahkan pemerintah sudah dalam tahap finalisasi terkait dengan penyelesaian kasus tersebut. Dari tujuh kasus penyelesaian pelanggaran HAM berat yang terinventarisasi, enam di antaranya sudah hampir selesai. “Kami berharap ada pertemuan paripurna satu kali dan lapor presiden,” ujar Luhut di Jakarta, Selasa, 20 Maret 2016.
HARI TRI WASONO