TEMPO.CO, Luwu - Puluhan siswa SD Negeri 648 Sangtandung, Kecamatan Walenrang Barat, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, mendapat perhatian Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Luwu, Andi Pahri.
Namun dia justru menyalahkan pihak sekolah dan guru yang disebutnya tidak kreatif dan malas. Menurut Pahri, lima ruang kelas dengan jumlah siswa seluruhnya 75 orang, sudah cukup memadai dan tidak perlu sebagian siswa dipindahkan kegiatan belajarnya di bawah kolong rumah warga. "Kepala sekolah dan gurunya tidak kreatif,” katanya hari ini, Jumat, 18 Maret 2016.
Pahri mengatakan, bila lima ruang tidak cukup, bisa ditempuh cara menggabung siswa dua kelas dalam satu ruangan. Agar kegiatan belajar bisa berlangsung tenang, dipasang papan penyekat. “Memindahkan kegiatan belajar di bawah kolong rumah warga hanya merugikan siswa,” ujarnya.
Pahri mengakui di Kabupaten Luwu masih banyak sekolah dasar yang fasilitasnya terbatas. Bahkan ada yang hanya memiliki tiga ruang kelas. Sekolah-sekolah itu mendapat prioritas untuk disempurnakan, termasuk menambah ruang kelas serta sarana belajarnya. Namun, harus dilakukan secara bertahap. “Tahun ini belum bisa dilakukan pembangunan, karena pembahasan anggaran sudah selesai,” ucapnya. Dia berharap mendapat anggaran dari dana bantuan sosial.
Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Luwu, Syamsul Tokambesse, mengatakan banyaknya sekolah yang minim fasilitas akibat fungsi pengawasan Unit Pelaksana Tekhnis Dinas Pendidikan di tingkat Kecamatan tidak maksimal. “Kasus yang terjadi di SD N 648 Sangtandung tidak akan terjadi jika UPTD cepat berkoordinasi dengan Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan,” tuturnya.
Sebelumnya, salah seorang guru SD Negeri 648 Sangtandung, Muksin, mengatakan memindahkan siswa ke kolong rumah warga adalah langkah yang terpaksa dilakukan. Sebelumnya sudah dicoba menggabung siswa Kelas 4 dan Kelas 3 dalam satu kelas. Namun siswa tidak bisa berkonsentrasi belajar karena tidak ada papan penyekat.
Musksin mengatakan akibat minimnya biaya operasional, sekolah tidak mampu membeli papan penyekat yang bisa meredam kebisingan. Siswa tetap merasa terganggu dan tidak bisa konsentrasi menerima pelajaran dari guru.
Meja dan kursi setiap ruang kelas di sekolah itu juga sudah rusak sehingga siswa belajar di lantai beralaskan karton bekas. “Kami tidak mungkin mengharapkan bantuan dari orang tua siswa karena pada umumnya tergolong keluarga tidak mampu.”
Menurut Muksin, bagi penduduk Desa Sangtandung maupun Kecamatan Walenrang Barat, anak-anak mereka bisa bersekolah sudah merupakan anugerah, meski tidak mampu membelikan pakaian seragam. “Ke sekolah hanya pakai sandal jepit,” ujarnya.
Muksin berharap Dinas Pendidikan segera mengatasi masalah minimnya fasilitas dan saran selolah. Jika tidak, maka pemerintah bisa dituding tidak serius memperhatikan masalah pendidikan.
HASWADI