TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti mengatakan perlu dikaji ulang keputusan Mahkamah Konstitusi membolehkan orang yang memiliki hubungan darah dengan kepala daerah maju dalam pemilihan kepala daerah. "Adanya hubungan darah mengakibatkan politik yang tidak sehat," ucap Ray dalam diskusi revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada di Jakarta, Jumat, 18 Maret 2016.
Menurut Ray, adanya hubungan darah antara calon kepala daerah dan kepala daerah yang akan lengser berpotensi menimbulkan nepotisme. Nepotisme yang terjadi juga bisa berdampak buruk pada demokrasi di Indonesia.
Ray mencontohkan, jika kepala daerah yang terpilih merupakan anak mantan kepala daerah di wilayah yang sama, penyalahgunaan kekuasaan sangat berpotensi terjadi. "Tabiat yang tidak terseleksi dengan baik," ujarnya.
Hubungan darah calon kepala daerah dengan mantan kepala daerah, tutur Ray, perlu dimasukkan dalam pembahasan revisi UU Pilkada.
Sebagai contoh, Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Nofiadi yang merupakan anak mantan bupati di wilayah yang sama, Mawardi Yahya, ditangkap Badan Nasional Narkotika karena terlibat penyalahgunaan narkoba sebulan setelah dilantik.
Pada 23 Juni 2015, Mawardi memberikan kesempatan kepada Nofiadi untuk menjabat sebagai bupati. Mawardi sebenarnya masih menjabat sampai 22 Agustus 2015. Tapi ia memilih mundur tiga hari sebelum penetapan calon Bupati Ogan Ilir yang diikuti anaknya.
Hubungan darah dalam politik juga dikenal dengan istilah politik dinasti. Potensi korupsi, kolusi, dan nepotismenya sangat tinggi. Contoh kepala daerah yang disebut-sebut melanggengkan politik dinasti adalah Atut Chosiyah, mantan Gubernur Banten yang terjerat kasus korupsi. Sejumlah saudara dan kerabat Atut banyak yang menjadi bupati, wali kota, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah.
DANANG FIRMANTO