TEMPO.CO, Depok - Pesantren Luhur Mutiara Bangsa menolak tudingan sebagai sarang preman dan teroris setelah didatangi puluhan orang yang mengancam para santri, Selasa, 15 Maret 2016. Pesantren tersebut saat ini diakui oleh dua pemilik lahan seluas 2.308 meter di Jalan Joglo Nomor 44, Kelurahan Kukusan, Kecamatan Beji, Kota Depok, Jawa Barat.
Pengasuh Pesantren, Muflih Sartono, mengatakan bakal berkoordinasi dengan penegak hukum untuk melawan orang yang mengklaim lahan pesantren yang sudah berdiri sejak 2006 itu. "Kami akan bertahan," kata Muflih, Jumat, 18 Maret 2016.
Ia mengatakan sertifikat pesantren memang atas nama Umar Alianto. Dan saat ini berada di Bank Jabar karena digadaikan oleh Ading Sutarno. "Ading yang menggandakan sertifikat lahan pesantren ini dan mengubahnya atas nama Umar," kata Muflih.
Lahan di pesantren tersebut awalnya milik Marni. Pada tahun 2004, tanah tersebut dijual oleh Marni kepada Ading. Ading, kata Muflih, membeli tanah tersebut dari duit milik Ahmad Jauhari. Harga tanah saat itu Rp 375 ribu per meter persegi tapi hanya dibayar Rp 325 ribu. "Marni mengikhlaskan dengan menginfakkan Rp 50 ribu per meter persegi dari harga normal karena tanah digunakan untuk pembangunan pesantren," ucapnya.
Sejak awal, Ading memang dipercaya menjadi bendahara pesantren. Namun, di tengah perjalanan, Ading menggadai sertifikat tanah ke rentenir bernama Wolly Jonathan, dengan perantara Umar.
Pada awal 2007, Ading meminjam sertifikat kepada Jauhari dan menggadaikannya. Sertifikat atas nama Ading dipegang Jauhari karena duit pembelian tanah tersebut berasal darinya. "Saat dipinjam, Ading mengganti nama sertifikat atas namanya menjadi milik Umar, dan Jauhari diberi sertifikat palsu," kata Muflih.
Tindakan tersebut dilakukan Ading karena ia berutang sebesar Rp 2 miliar dan berlipat ganda menjadi Rp 4 miliar. "Kami tahu bahwa sertifikat itu palsu saat 60 orang mendatangi pesantren dengan kasus yang sama pada tahun 2010."
Untuk membayar utang tersebut, Ading menyerahkan lahan seluas 12 hektare dan 16 ribu pohon jati di Kuningan, Jawa Barat, kepada Umar. Bahkan Ading sempat mencicil utang Rp 100 juta sebanyak dua kali kepada Umar. "Waktu itu sudah dianggap lunas dengan sistem barter tanah. Kenapa sekarang dipermasalahkan lagi?" ujar Muflih.
Muflih menduga permasalahan ini diangkat kembali karena sebagian lahan pesantren ingin dibebaskan untuk pembangunan Jalan Tol Cijago. Untuk itu, pengurus pesantren bakal melawan secara hukum atas masalah ini. "Sudah sempat dibawa ke perdata juga masalah ini. Kami akan pertahankan," katanya.
Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Depok Raden Salamun menyayangkan tindak premanisme yang terjadi pada Selasa kemarin di pesantren tersebut. Menurut dia, pemerintah dan pihak keamanan wajib menjaga pesantren tersebut. "Ini status siap siaga karena belum selesai," ucapnya.
Raden berharap kejadian itu tidak terulang. Menurut dia, sungguh aneh pesantren dicap sebagai sarang preman dan teroris. "Kami akan membantu proses status kepemilikan tanahnya. Sejak tahun 2008, kami tahu bangunan di lokasi tersebut memang sudah menjadi pesantren," katanya.
Wakil dari keluarga Umar Alianto, Aji Barkos, meminta pesantren tersebut segera dikosongkan. Sebab, kata dia, sertifikat yang asli adalah milik Umar. "Kami punya sertifikat yang asli," ujarnya.
Aji membantah mereka membawa preman untuk mengusir santri di pesantren tersebut Selasa lalu. Kedatangan mereka secara baik-baik, serta didampingi polisi dan aparatur kelurahan setempat. "Pesantren itu hanya kos-kosan," ucapnya.
IMAM HAMDI