TEMPO.CO, Denpasar - Bendesa adat dari 14 desa adat di kawasan pesisir Bali mengadakan pertemuan di Kantor Desa Pakraman Sanur, Denpasar Selatan pada Rabu, 16 Maret 2016. Mereka membahas kelanjutan langkah penolakan terhadap rencana reklamasi di Teluk Benoa.
Bendesa adat yang menolak reklamasi Teluk Benoa itu berasal dari Tanjung Benoa, Bualu, Kuta, Canggu, Pedungan, Pemogan, Kepaon, Serangan, Sanur, Sesetan, Penyaringan, Ketewel, Buduk, dan Bugbug. Koordinator Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI), I Wayan 'Gendo' Suardana, mengatakan sampai saat ini sebanyak 26 desa adat di Bali secara resmi menolak reklamasi Teluk Benoa.
"Di Kabupaten Badung ada 13 desa adat, di Denpasar ada 8, di Karangasem ada 3, dan Gianyar ada 2," kata Gendo mengawali pembahasan di Kantor Desa Pakraman Sanur, Denpasar, Rabu, 16 Maret 2016.
Bendesa Adat Tanjung Benoa, I Made Wijaya, menilai alasan PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) yang ingin membuat pulau-pulau baru itu salah karena tidak sesuai dengan keinginan masyarakat Tanjung Benoa. "Keinginan kami yang tepat adalah perbaikan Pulau Pudut yang abrasi karena reklamasi di Pulau Serangan. Kami masyarakat Tanjung Benoa sebagai pewaris sangat menolak reklamasi," kata Made Wijaya.
Baca juga: ITS Tolak Tawaran Kajian Reklamasi Teluk Benoa
Para bendesa adat yang tergabung dalam pasubayan (kesepakatan) itu akan menggelar aksi besar menolak rencana proyek PT TWBI pada Minggu, 20 Maret 2016. "Aksi kami dari seluruh masyarakat adat akan berpusat di sebelah barat dekat pintu tol Bali Mandara, tepatnya di bundaran taman Desa Adat Tuban," kata Bendesa Adat Kuta, Wayan Swarsa, sebagai perwakilan pasubayan. "Kami sudah bersurat resmi ke Polda Bali."
Swarsa menjelaskan pasubayan yang disepakati selama tiga bulan terakhir ini berkeyakinan penolakan terhadap reklamasi di Teluk Benoa akan semakin masif. "Pasubayan ini sebagai gerakan moralitas yang kami tuangkan ke dalam dokumen semua bendesa adat yang menolak reklamasi Teluk Benoa. Kesepakatan ini ditujukan kepada pihak pemerintah dan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP)," katanya.
Swarsa menegaskan Gubernur Bali Made Mangku Pastika tidak boleh mengacuhkan pasubayan para bendesa adat di Bali. "Ini bukan main-main, Gubernur Bali harus melihat realita yang ada. Aspirasi dan jiwa kepatutan sebagai masyarakat adat yang menolak reklamasi Teluk Benoa tidak boleh diremehkan," ujarnya. Gubernur Bali, kata Swarsa, harus mampu menjadi guru wasesa dengan masyarakatnya. "Ya, sebagai pemerintah harus menjalin komunikasi untuk kepatutan jiwa adat Bali," katanya.
Dua pekan lalu saat Tempo bertemu Gubernur Bali Made Mangku Pastika menanyakan perihal pertemuan para bendesa adat di Bali dengan Menteri Susi, Mangku Pastika enggan berkomentar banyak. Ia tampak acuh tak acuh menanggapi sikap masyarakat Bali yang menolak reklamasi di Teluk Benoa. "Ya, silakan saja, itu hak semua orang, saya enggak ada masalah kok, kenapa mesti saya yang bingung?" kata Mangku Pastika, di Denpasar, Kamis, 3 Maret 2016.
Dalam kesempatan tersebut Mangku Pastika menilai soal rencana reklamasi di Teluk Benoa bukan permasalahan yang menjadi urusannya. Ia mengatakan enggan mengadakan dialog terbuka bersama para bendesa adat yang menolak reklamasi. "Enggak tuh, untuk apa? Kewenangannya 100 persen ada di pusat, jadi kalau orang demo ke saya itu salah, lalu saya mau ngapain?" ujarnya.
"Pendapat orang macam-macam, ada yang menganggap itu perlu, ada yang menganggap itu tidak perlu. Ya, kalau orang mau berpendapat zaman sekarang kan boleh-boleh saja," katanya.
BRAM SETIAWAN