TEMPO.CO, Yogyakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Divisi Regional VI Jawa Tengah-DIY mengklaim sejumlah penyakit yang semula tidak bisa dibiayai BPJS kini dapat ditanggung. Hal ini berdasarkan aturan baru Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016. Termasuk atlet olahraga yang cedera akibat aktivitas olahraganya.
“Sebelumnya, penyakit akibat menyakiti diri sendiri atau hobi yang membahayakan diri sendiri tidak ditanggung,” kata Kepala Departemen Hukum, Komunikasi Publik, Kepatuhan, dan Keuangan BPJS Kesehatan Divisi Regional VI Jawa Tengah-DIY, Wahyu Giyanto, saat menyampaikan sosialisasi tarif premi BPJS Kesehatan di Balai Cepoko, kompleks Kepatihan Yogyakarta, Rabu, 16 Maret 2016.
Dia mencontohkan atlet karate yang retak tulang akibat bertanding. Kini, para atlet bisa mengajukan klaim pembiayaan pengobatan melalui BPJS Kesehatan. “Tapi yang menetapkan boleh-tidaknya ditanggung BPJS adalah menteri (Menteri Kesehatan dengan melihat kasusnya),” ujarnya.
Sedangkan penyakit yang diakibatkan aktivitas merokok, menurut Wahyu, tetap tidak bisa ditanggung. “Merokok, kan, punya efek kurang bagus (untuk kesehatan),” tutur Wahyu.
Penambahan manfaat pelayanan kesehatan melalui aturan yang baru juga mencakup pembiayaan untuk pemeriksaan medis dasar di unit gawat darurat (UGD) rumah sakit. Juga pelayanan keluarga berencana (KB) berupa sterilisasi untuk perempuan atau tubektomi interval.
Wahyu mengklaim penambahan layanan kesehatan dengan peraturan presiden baru itu merupakan konsekuensi atas opsi yang dipilih. Semula ada tiga opsi tentang kelanjutan penyelenggaraan BPJS Kesehatan, yaitu penurunan manfaat pelayanan, penyesuaian iuran, dan pembiayaan ditanggung semua oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. “Dua opsi enggak mungkin. Jadi yang dipilih penyesuaian iuran, bukan menaikkan, lho,” ucapnya.
Ketua Persatuan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Mochammad Syafak Hanung pun meminta peningkatan paket pembayaran Ina CBGs (Indonesia Case Base Groups), yaitu aplikasi yang digunakan rumah sakit untuk mengajukan klaim kepada pemerintah.
Sistem pembayarannya dilakukan melalui paket berdasarkan penyakit yang diderita pasien. “Kalau premi naik, Ina CBGs juga mestinya naik. Banyak rumah sakit nombok,” kata Syafak, yang juga Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Sardjito Yogyakarta. Namun Syafak menolak ketika diminta mengungkapkan nilai nominal tanggungan rumah sakit yang belum dibayar pemerintah.
Jumlah rumah sakit di DIY yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan ada 60 unit. Sedangkan jumlah warga DIY dan Jawa Tengah yang telah menjadi anggota BPJS Kesehatan sebanyak 64 persen dari total jumlah penduduk dua provinsi itu.
PITO AGUSTIN RUDIANA