TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak pemerintah membatalkan rencana kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016, pemerintah menetapkan kenaikan iuran BPJS, yang akan diberlakukan per 1 April 2016, demi menutup defisit operasional yang mencapai lebih dari Rp 7 triliun sejak 2014.
“Terlepas dari soal defisit, kebijakan menaikkan tarif iuran BPJS untuk peserta mandiri adalah kebijakan yang kontra produktif dan tidak mempunyai empati, di saat sedang lesunya pertumbuhan ekonomi dan menurunnya daya beli masyarakat,” ujar Tulus dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Senin, 14 Maret 2016.
Tulus menjelaskan enam poin yang menjadi alasan mengapa kenaikan iuran BPJS ini harus dibatalkan. Pertama, kata Tulus, hingga saat ini BPJS belum mempunyai standar pelayanan minimal yang jelas, sehingga hampir di semua lini pelayanan BPJS masih tampak mengecewakan bagi masyarakat.
“Masih banyak pasien yang ditolak opname di rumah sakit tanpa alasan yang jelas. Sekalipun diterima rumah sakit, pelayanan rumah sakit terhadap peserta BPJS sangat timpang dibanding dengan peserta non-BPJS,” kata Tulus.
Selain itu, buruknya pelayanan terlihat dari meluapnya kekecewaan masyarakat karena obat tertentu yang tidak ditanggung serta antrean panjang. “Hingga pasien menjemput ajal karena belum ada tindakan medis,” ujar Tulus.
Kemudian yang kedua adalah kenaikan tarif BPJS juga merupakan pelanggaran prinsip gotong royong yang menjadi "jiwa" asuransi sosial dalam BPJS. “Jika tarif BPJS terus dinaikkan, apa bedanya BPJS dengan asuransi komersial? Kenaikan iuran BPJS bisa dikategorikan melanggar Nawacita,” tutur Tulus.
Poin yang ketiga, lanjut Tulus, kalaupun pemerintah ingin menaikkan iuran BPJS, seharusnya yang dinaikkan adalah peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang menjadi tanggungan negara. Pemerintah, kata Tulus, harus menambah besaran iuran PBI, sebagai tanggung jawab konstitusional negara, bahwa kesehatan adalah hak asasi warga negara.
“Seharusnya pemerintah justru berterima kasih kepada peserta BPJS mandiri, bukan malah mengeksploitasi dengan menaikkan tarifnya," kata Tulus. Tulus menyarankan pemerintah menggunakan separuh dari dana cukai rokok yang diperoleh pemerintah.
Poin yang keempat adalah manajemen BPJS dan pemerintah. "Jangan beranggapan dengan adanya BPJS masyarakat tidak mengeluarkan belanja kesehatan selain BPJS itu sendiri," katanya. Menurut Tulus, kondisi yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat lebih banyak mengeluarkan bujet kesehatan (fee for service) akibat masih buruknya pelayanan BPJS.
Dan yang terakhir adalah, berapa pun iuran yang diberikan BPJS, finansial BPJS akan tetap defisit. “Finansial BPJS akan jebol jika belum ada perbaikan fundamental dari sisi hulu, yakni memperbaiki perilaku hidup sehat masyarakat (dengan tindakan preventif promotif) dan mengembalikan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan tingkat dasar.
ARIEF HIDAYAT